Rabu, 06 Mei 2009

Retorika dan Keragaman Budaya



Di antara karunia Tuhan yang paling besar bagi manusia ialah mempunyai kemampuan berbicara. Kemampuan untuk mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan oleh mulut. Berbicara telah membedakan manusia dengan makhluk lain, dalam suatu ungkapan manusia dikatakan sebagai hayawanun natiq.
Lama sebelum lambang-lambang tulisan digunakan, orang sudah menggunakan bicara sebagai alat komunikasi. Bahkan setelah tulisan ditemukan sekalipun, bicara tetap banyak digunakan orang. Ada beberapa kelebihan berbicara yang tidak dapat digantikan dengan tulisan. Bicara lebih akrab, lebih pribadi, lebih manusiawi. Tidak mengherankan, bila ilmu bicara telah dan sedang menjadi perhatian manusia.
Kemampuan berbicara merupakan bakat tetapi, kepandaian berbicara yang baik memerlukan pengetahuan dan latihan. Orang sering memperhatikan cara dan bentuk pakaian yang dikenakannya, agar kelihatan pantas, tetapi ia sering lupa memperhatikan cara dan bentuk pembicaraan yang diucapkannya supaya kedengaran baik. Retorika sebagai ilmu bicara sebenarnya diperlukan setiap orang, bagi ahli komunikasi atau komunikator retorika adalah conditiion sine qou non.
Retorika tidak bisa lepas dari komunikasi, karena beretorika berarti penyampian pesan dari kominikator kepada komunikan. Dalam ilmu komunikasi dasar, komunikasi efektif itu terjalin ketika komunikator dan komunikan saling memahami apa yang disampaikan. Sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam komunikasi. Makanya diperlukan ilmu-ilmu penunjang lainnya untuk memudahkan menjalin komunikasi dengan orang lain. Salah satunya adalah ilmu Antopologi. Penjelasan mengenai kebiasaan suatu komunitas akan memudahkan kita berkomunikasi. Setelah terjalin komunikasi efektif , retorika berbicara akan sangat mempengaruhi dan mempermudah kita bagaimana mengajak dan berdampingan dengan suatu komunitas. Retorika komunikasi diperlukan agar menghindari persinggungan budaya, mungkin kalau dalam bahasa daerah dipahami sebagai “bahasa tatakrama”. Selain untuk, efesiensi dalam berkomunikasi.

a. Pengertian Retorika dan Komunikasi Verbal
Menurut kodratnya manusia memilki kecenderungan untuk berpikir dan menyatakan
pendapat, keinginan, perasaan serta pengalaman-pengalamannya. Di samping itu, manusia juga punya kecenderungan mempengaruhi bahkan memaksakan pikiran dan pendapatnya kepada orang lain atau kelompok. Umumnya, kecenderungan tersebut dilakuakan secara langsung melalui pembicaraan ( proses komunikasi ), baik antara pribadi maupun dalam kelompok face to face commication.
Dalam kenyataannya, seseorang yang ingin menyampaikan pendapat pada orang lain sering menghadapi berbagi masalah, tertutama apabila pendapatnya itu tidak didengar atau diterima orang lain, jelas bagi kita cara berbicara memang memberikan pengaruh dan dampak yang sangat besar atas diri dan keberadaan setiap orang.
Besar atau kecil, disegani atau dihormati, dihina atau dimuliakan sangat ditentukan oleh cara dan kesanggupanya berbicara di hadapan orang lain. Pribahasa mengatakan “mulutmu adalah harimaumu yang akan menerjang kepadamu”.Oleh karena itu, diperlukan suatu seni berbicara agar kita bisa mengatur, memikirkan terlebih dahulu apa yang akan kita katakan dihadapan orang lain atau public.
Retorika dirumuskan sebagi suatu ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana teknik seni berbicara di hadapan umum, sehingga orang merasa senang dan tertararik untuk mendengarkan uraian atau pendapat-pendapat yang disampaikan kepada orang lain dengan maksud orang atau pendengar mengetahui, memahami, menerima serta bersedia melaksanakan segala sesuatu yang disampaikan terhadap mereka.
Dilihat dari persfektif bahasa dan sejarah, retorika berasal dari bahasa Yunani yaitu rhêtôr, orator, teacher. Secara umum, retorika ialah seni atau teknik persuasi menggunakan media oral atau tertulis (Wikipedia, 1996). Sejalan dengan pengertian tersebut, Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) menjelaskan bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan suatu keterampilan menemukan secara persuatif dan objektif suatu kasus dengan meyakinkan pihak lain akan kebenaran kasus yang dibicarakan. Jadi, tujuan retorika adalah persuasi untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan topik yang dibicarakan pembicara sehingga dapat membina saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan berbicara. Jika selama ini, retorika dianggap sebagai ilmu pidato semata, sekarang fungsi retorika telah mengalami perluasan. Retorika merupakan bidang studi komunikasi yang turut mengembangkan ilmu komunikasi
Dari pengertian retorika diatas, jelas bahwa retorika tidak terpisah dari komunikasi karena sejatinya komunikasi adalah proses penyampain pesan demikian juga retorika, jika dimasukan ke dalam bentuk komunikasi, retorika termasuk komunikasi verbal.
Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang menggunakan bahasa lisan. Dalam speech communicatioan (komunikasi lisan )-yang terutama dijempunyai dalam komunikasi antar pribadi ataupun kelompok-terjadi peralihan pesan-pesan verbal dalam bentuk kata-kata. Yang pasti bahwa, unsur-unsur penting dari komunikasi tercakup di dalamnya yaitu; saluran, pesan, code, penerima dan kerangka rujukan. Setiap unsur memberikan dukungan pada komunikasi verbal.
Menurut de Vito (1978); Victoria dan Robert (1983); ada enam jenis komunikasi verbal.
Pertama, emotive speech, merupakan gaya bicara yang lebih mengutamakan pilihan kata yang didukung oleh pesan non verbal.
Kedua, phatic speech adalah gaya komunikasi verbal yang berusaha meniciptakan hubungan sosial sebagaimana dikatakan oleh Bronislaw dengan phatic communication, phatic speech ini dapat diterjemahkan secara tepat karena ia harus dilihat dalam kaitan-nya dengan kontes di saat kata diucapkan dalam suatu tatanan sosial atau suatu masyarakat.
Ketiga, cognitive speech merupakan jenis komunikasi verbal yang mengacu pada kerangka berpikir atau rujukan yang secara tegas mengartikan suatu kata denotatof dan bersufat normatif.
Keempat, rethorical speech, mengacu pada komunikasi verbal yang menekankan sifat konatif. Gaya bicara ini mengarahkan pilihan ucapan yang mendorong terbentuknya perilaku. Cara ini biasanya digunakan oleh para politisi, salesman yang bersifat persuasi.
Kelima, metalingual speech adalah komunikasi lisan secara verbal, tema pembicaraan tidak mengacu pada obyek dan peristiwa dalam dunia nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri. Tipe pembicaraan ini berbeda dari yang lain, ia bersifat sangat abstrak dan berorentasi pada code komunikasi.
Keenam, peotic speech adalah komunikasi lisan secara verbal berkutat pada stuktur penggunaan kata yang tepat melalui perindahan pilihan kata ketepatan ungkapan biasanya menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gaya-gaya lain khas.
Dari keenam jenis komunikasi verbal tersebut, maka retorika termasuk kepada jenis keempat yakni rethorical speech. Hal ini semakin mempertegas kaitan antara komunikasi dan retorika.

b. Komunikasi Antar budaya, Kaitannya dengan Retorika
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosial ekonomi). Seperti yang ditunjukan definisi tersebut, penggolongan kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak, kita boleh memilih satu atau lebih ciri untuk menandai sebuah kelompok yang memiilki budaya yang sama. Kita boleh, misalnya, berbicara tentang orang-orang asli california, nebraska atau yang lainnya sebagai berasal dari budaya-budaya regional yang berbeda, kita boleh menyebut masing-masing sebagai anggota sebuah budaya kota atau budaya desa, semuanya bisa dikelompokan dalam batasan-batasan tertentu.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimilki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Dalam sumber lain, budaya dikatakan sebagai suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat abstark, komplek dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Hubungan antar budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antar budaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Seorang Korea, seorang Mesir atau seorang Amerika belajar berkomunikasi seperti orang-orang Korea, tahu orang-orang mesir, atau orang-orang Amerika lainnya. Perilaku mereka dapat mengandang makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui, dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang dunia meraka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budaya mereka.
Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau suatu peristiwa. Cara-cara kita berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang kita gunakan, semua itu terutama merupakan respon terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terkait oleh budaya. Sebagaimana budaya berbeda antar yang satu dengan yang lainnya. Maka praktek dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula.
Keragaman budaya ada karena adanya perbedaaan budaya. Perbedaan antar dua kelompok budaya berkisar pada perbedaan yang kecil hingga perbedaan yang besar. Perbedaan antar budaya biasanya disebabkan karena hanya ada sedikit kontak antara budaya-budaya lain pada umunya. Apa yang membedakan suatu budaya dengan budaya lainnya tidak selalu jelas. Orang jawa dan Sunda yang beragama Islam memiliki persamaan dan perbedaan budaya. Keduanya mungkin merayakan Mauilid Nabi, tetapi cara memperingati antara kedua suku tersebut berbeda. Mereka mungkin sesekali berbicara bahasa yang sama, namun dengan aksen yang berbeda dan sedikit kosa kata dan ungkapan yang berbeda pula.
Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian kita segera dihadapkan dalam situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain.
Dalam menjalin komunikasi antar budaya atau dalam hal ini ber-retorika, maka kita akan menemukan kendala-kendala dalam interaksi atau proses penyampaian pesan. Keragaman dan perbedaan budaya bisa menjadi salah satu sebabnya. Meskipun sarana transfortasi dan komunikasi modern telah memungkinkan kita berhubungan dengan hampir semua orang di seluruh dunia, kapasitas teknis untuk mengirim dan menerima pesan tidak dengan sendirinya membuat orang-orang yang berbeda budaya dapat berkomunikasi dengan efektif. Perkembangan-perkembangan teknologi komunikasi efektif dengan orang yang punya bahasa berbeda, dan pengharapan yang berbeda, kepercayaan dan nilai berbeda dan pengharapan berbeda akan hubungan manusia. Interaksi antar orang-orang yang berbeda budaya telah menimbulkan lebih banyak salah pengertian daripada sebaliknya. Apalagi berkomunikasi langsung dengan maksud untuk mempengaruhi atau mengajak orang- salah satu tujuan retorika.
Dari sekian banyak teori yang dikemukakan teoritis untuk melukiskan proses komunikasi, beberapa teori jelas berlaku bagi komunikasi antar budaya. Prinsip pertama adalah suatu sistem sandi bersama. Sarbaugh (1979) berpendapat bahwa tanpa suatu sistem bersama demikian, komunikasin akan menjadi tidak mungkin.
Prinsip kedua, kepercayaan dan prilaku yang ber-lain sandi antar pihak-pihak yang yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respon. Sebenarnya, kepercayaan-kepercayaan dan prilaku-prilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada prilaku yang sama. Bila hali ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan meremalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara efektif.
Prinsip ketiga yang punya implikasi penting bagi komunikasi antar budaya adalah tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan preilaku orang lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. Di satu pihak, ada orang-orang yang sekaligus mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Ada juga orang-orang yang tidak mengetahui dan menerima, sehingga kemungkinan tinggi sekali untuk mengalami kegagalan komunikasi.
Penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku, dan penumpukan sikap toleran tehadap kepercayaan dan perilaku orang lain, semua itu membantu terciptanya komunikasi yang efktif.
Dalam konteks retorika, kesalahan dalam berbicara atau berbahasa dengan orang berbeda budaya akan sering ditemui. Penerjemahan dan pemaknaan dari satu bahasal ke bahasa lain kadang tidak hanya bisa diartikan secara harfiyah saja. Karena menurut Whorf bahasa-bahasa berbeda lebih dari sekedar yang ditunjukan terjemahan kata demi kata karena orang yang berbicara bahasa itu mempunyai kebutuhan yang berlainan.
Terjemahan harfiyah dari satu bahasa ke bahasa yang lain sering menimbulkan kesalahpahaman karena terjemahan tersebut kadang tidak memperhitungkan gaya bahasa yang berlandaskan budaya. Gaya bahasa yang rumit dalam bahasa arab dengan retorika yang berlebihan, pujian, dan metafora ganda yang diperluas membingungkan bagi mereka yang tidak mengenal bahasa Arab. Bahkan jawaban “ya” atau “tidak” dapat disalah pahami. Orang Arab ketika mengatakan tidak sering kali diualang-ulang bahkan beberapa kali ditambah dengan sumpah seperti demi Tuhan.
Pemahaman atas seluk beluk gaya bahasa khususnya sangat penting untuk dipahami. Ketika berdiplomasi, sebaiknya menggunakan trik-trik retorika yang menarik agar komunikasi yang terjalin menjadi efektif. Misalnya, Sir Hamilton dari Universitas Oxford menyarankan bahwa “ wahana untuk mengungkapkan perasaan estetik orang Arab terutama wahana.... adalah wahana kata dan bahasa- yang paling menggoda, mungkin dan tentu saja seni yang paling tidak stabil dan paling berbahaya dari semua seni”.
Kendala dalam menjalin komunikasi dalam konteks retorika antar budaya dapat lebih sulit. Manakala setiap anggota dari budaya yang berbeda mempunnyai etnosentrisme, yakni kecenderunngan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian yang tinggi. Selain itu pensterotipan terhadap kelompok lain dapat pula menjadi hambatan dalam retorika antar budaya.
Oleh karena itu, agar retorika yang dilakukan kepada budaya lain itu efektip, diperlukan suatu standar etika yang disetujui bersama. Merril dalam hal ini menyarankan bahwa mungkin ada beberap prinsip etika luas yang melebihi setiap budaya atau negara tertentu. Dengan kata lain, terdapat nilai-nilai universal, yakni salah satunya adaptasi Kaidah Emas:“ berkomunikasilah dengan mereka yang bersedia mengenal hal-hal dengan cara-cara yang kita kehendaki digunakan orang lain untuk berkomunikasi dengan kita. Nilai kedua adalah adaptasi Imperetif Kategoris Kant:”berkomunikasilah mengenai hal-hal dan dengan cara sedemikian rupa sehingga kita bersedia menjadikan apa yang kita lakukan sebagai nilai universal”. Selain itu Howell dalam makalahnya yang berjudul “Ethic of Intrecultural Communication” juga merekomendasikan bahwa komunikator antar budaya selalu “menunjukan penghargaan terhadap nilai, moral, dan praktik normatof budaya lain” serta mereka juga menahan diri dari evaluasi.”
Salah satu standar yang sering disarankan sebagai prinsip untuk memadu etika komunikasi antar budaya adalah beberapa versi dari Kaidah Emas yang telah disebutkan di atas. Namun, Milton Bennet menegaskan secara meyakinkan bahwa kaidah emas paling baik diterapkan dalam suatu budaya yang mempunyai konsensus luas mengenai nila-nilai asasi, sasaran, struktur, dan kebiasaan. Dengan kata lain, kaidah emas menganggap bahwa semua orang adalah sama, bahwa orang lain ingin diperlakuakan seperti halnya kita. Anggapan seperti itu tidak dapat diterapkan dalam komunikasi dalam beretorika dengan budaya lain. Sebagai altenatifnya, Bennet menawarkan kaidah Paltiana: “bersikaplah dan berkatalah kepada orang lain, sebagaimana mereka sendiri ingin bersikap tehadap dirinya.” ia mendorong pengembangan empati sebagai keterampilan komunikasi yamg esensial untuk melaksanakan kaidah ini, yakni :” partisipasi intelektual dan emosional imajinatif terhadap pengalaman orang lain.

Secara alamiah manusia memilki kecenderungan untuk berpikir dan menyatakan
pendapat, keinginan, perasaan serta pengalaman-pengalamannya. Di samping itu, manusia juga punya kecenderungan mempengaruhi bahkan memaksakan pikiran dan pendapatnya kepada orang lain atau kelompok. Umumnya, kecenderungan tersebut dilakuakan secara langsung melalui pembicaraan ( proses komunikasi ), baik antara pribadi maupun dalam kelompok face to face commication.
Dalam menjalankan komunikasi verbal antar kelompok, mungkin kita mudah beradaptasi. Walaupun dalam satu komunitas terdapat keeragaman pikiran, minimal, akan tetapi pemahaman dan jalinan kesepakatan bersama telah terjadi. Namun bagaimana ketika kita di sandingkan dengan keberagaman budaya, seperti di Indonesia. Tentunya akan memerlukan waktu adaptasi dalam prosesi memahami antar budaya. Dalam hal ini dibutuhkan kecakapan beretorika agar tidak menimbuklan cless antar budaya. Keragaman budaya sendiri merupakan fenomena yang harus dicermati secara cermat.
Kendala dalam menjalin komunikasi dalam konteks retorika antar budaya dapat lebih sulit. Manakala setiap anggota dari budaya yang berbeda mempunnyai etnosentrisme, yakni kecenderunngan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian yang tinggi. Selain itu pensterotipan terhadap kelompok lain dapat pula menjadi hambatan dalam retorika antar budaya.
Terakhir, kecakapan ber-retorika jelas sangat diperlukan. Apalagi dalam menghadapi keberagaman budaya. Sebagian orang beranggapan bahwa budaya merupakan ceriminan suatu entitas. Oleh karnanya, diperlukan keterampilan dalam memahami suatu budaya tersebut. Mulai dari tata cara, adat istiadat dan lain sebagainya. Semua ini menjadi bahan dalam memudahkan menjalin komunikasi aktif dengan setiap keberagaman budaya. Tentunya hal ini akan tercipta, jika kita saling menghargai dan menghormati antar budaya yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

• Mulyana, dede. Komunikasi antarbudaya.1989. bandung: rosdakarya.
• Anwar, gentasari. Retoroki praktis. 1995.jakrta: rineka cipta.
• Mulyana, dedi. Komunikasi populer. 2004. bandung: pustaka bani quraisy
• Tubbs, stewart. Human communication. 1996. bandung: rosdakarya.
• Johannesen, richard. Etika komunikasi.1996. bandung: rosdakarya.
• Rakhmat, jalaludin. Retoriak modern. 2007. bandung: rosdakarya.
• Liliweri, alo. Komunikasi verbal dan non verbal. 1994. bandung: citra aditya

Tidak ada komentar: