Rabu, 06 Mei 2009

PERS YANG BEBAS

1. Relasi Pers dan Politik

System media massa atau pers disuatu negara berkaitan dengan situasi politik di Negara tersebut. System politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah. Dengan kata lain system pers pada suatu Negara mencerminkan sistem sosial yang di dalamnya diatur hubungan-hubungan antar individu dengan lembaga-lembaga yang ada. Pola hubungan media massa (cetak, radio, televise, online – selanjutnya disebut media atau pers) dan pemerintahan di suatu negara erat kaitanya dengan system dan stuktur poitik yang berlaku di Negara dimana kedua lembaga tersebut berada. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa suatu system pers akan mencerminkan falsafah politik Negara yang bersangkutan.
Kemudian apabila dilihat dari segi ilmu dan praktek komunikasi, maka pers umumya adalah salah satu saluran komunikasi politik. Jadi media mempunyai fungsi politik. Diamping itu, tersirat pula di dalamnya fungsi kritik, koreksi dan fungsi control seperti yang ditentuka oleh UU No. 40/1999. serta fungsi informasi, fungsi pendidikan dan bahkan fungsi hiburan, pers biasa pula memuat masalah politik yang berisi muatan kritik, koreksi dan kontrol sosial.
Pers juga berpengaruh terhadap proses politik dan atau jalanya pemerintahan di suatu Negara demokrasi. Di Indonesia memang tidak dikenal trias politika, tetapi ada kekuasaan kehakiman, kekuasaan eksekutif dan legislative ( dan menurut UU No. 40/1999 ada kekuasaan keempat, yaitu pers).
Bagaimana cara media memainkan peranan plitik sebagai the fourth estate di dalam Negara demokrasi? Media bertindak sebagai watch dog terhadap jalannya pemerintahan. Secara rinci peran media sebagai anjing pelacak terhadap jalannya pemerintahan adalah pelaksanaan fungsi kritik, control dan koreksi yang konstrutif (fair, true, and accurate reporting). Hal itu terdapat dalam UU No. 40/1999 dan dalam pasal 12 Tap XVII/MPR/1998 tentang HAM (pasal 12 mengatur hak-hak masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi secara benar).
Oleh karena itu pers sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat. Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Tidak salahlah apabila wartawan disebut aktor politik. Melalui berita-beritanya, ulasan-ulasanya dan wawancara-wawancaranya mengenai berbagai isu politik, wartawan dapat membentuk opini public tentang isu politik tersebut. Opini publik tidak dapat digunakan oleh masing-masing cabang kekuasaan tanpa diwakili oleh pers. Dengan demikian pers memang memilki relasi dan peranan sebagai institusi politik.

2. Pengertian Pers Yang Bebas
Merujuk pada teori pers, menurut penulis ada beberapa teori pers yang mendekati kepada pengertian pers yang bebas. Teori libertarian ( Libertarian Theory), dalam hubungannya dengan kebebasan pers teori ini beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikran-pikiran yang hanya secara efektif dapat diterima ketika itu apabila disampaikan melalui pers.
Meskipun teori libertarian ini terlihat sangat bebas namun pada dasarnya terori ini juga mempunyau batasan atau peraturan dalam menyiarkan sebuah berita. Peraturan tersebut seperti; pers dilarang menyiarkan pencemaran nama baik atau penghinaan, menampilkan pornografi, tidak sopan, dan melawan pemerintah. Bila dilanggar, maka akan diproses melalui pengadilan.
Teori lainnya yaitu Teori Tanggung Jawab Sosial ( Social Responsibility Theory). Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat, adanya pembatasan atas dasar moral dan etika dan pers harus melakukan tugasnya sesuai dengan standar hukum tertentu.
Dalam teori tanggung jawab sosial ini, prinsip kebebasan pers masih dipertahankan, tapi harus disetai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan tugas pokoknya, misalnya dalam menyiarkan berita harus bersikap objektif, atau tidak menyiarkan berita yang dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat. Pers dilarang mengemukan tulisan yang melanggar hak-hak pribadi yang diakui hukum, serta dilarang melanggar kepentingan vital masyarakat.
Teori tanggung jawab sosial ini lebih baik dari teori libertarian, karena apabila dilihat dari segi devinisi, teori ini merupakan revisi dari teori-teori sebelumnya yang mengganggap bahwa tanggungjawab pers terhadap masyarakat sangat kurang.
Pada tataran Negara kita, system pers Indonesia tidak dapat dikategorikan kepada salah satu teori pers di atas. Meskipun mendekati Teori Tanggung Jawab Sosial, tetapi system pers kita tidak identik dengan teori tersebut. System pers Indonesia mempunyai kekhasan sesuai ideologi dan falsafah Negara Indonesia (Pancasila) dan budaya masyarakat Indonesia yang khas pula.
Pers Indonesia sebagai sautu sistem, terkait dengan aspek-aspek lainnya yang tertuang dalam Keputusan dewan Pers Nomor. 79/XIV/1974 yang intinya mengemukakan bahwa kebebasan pers Indonesia berlandaskan :
a. Segi idiil : Pancasila
b. Konstitusioanal: Undang-Undang Dasar 1945 dan ketetapan MPR
c. Strategis: Garis-Garis Besar Haluan Negara
d. Yuridis: Undang-Undang Pokok Pers nomor. 21 Tahun 1982 (sekarang ditambah dengan undang-undang penyiaran)
e. Kemasyarakatan: tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia
f. Etis: norma-norma kode etik profesional

Pers Indonesia mempunyai kewajiban:
a. Mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen.
b. Memperjuangkan pelaksaan Amanat Penderitaan rakkyat berlandaskan Demokrasi Pancasila.
c. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers.
d. Membina persatuan dan menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, leberalisme, komunisme dan fasisme/diktator.
e. Menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktifdan progresif-revolusioner.

Kebebasan pers Indonesia dijamin oleh pasal 28 UUD-1945 yang intinya mengemukakan bahwa setiap warga Negara Indonesai bebas mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian setaip warga Negara mempunyai hak penerbitan pers asal sesuai dengan karakter demokrasi pancasila. Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab dan berlandaskan pada nilai-nilai pancasila. Contohnya setiap pemberitaan atau jenis pesan kominikasi lainnya tidak boleh menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang pada hakikatnya akan menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah perasatuan dan kesatuan bangsa. Hal lainya yang tidak boleh dilakukan media massa terdapat pasal-pasal tetentu alam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana), diantaranya adalah Pasal 134 KUH Pidana mengenai penghinaan terhadap Kepala Negara yang disebarkanluaskan melalui media massa, dan lain-lain.
Pada era reformasi, lahir produk undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, diamana esensi undang-undang ini merupakan sebuah bukti sejarah yang monumental dalam menegakan kedaulatan rakyat, keadilan, kebenaran, demikrasi dan supremasi hukum. Dalam undang-undang pers ini istilah kebebasan pers disepakati dan diganti menjadi kemerdekaan pers, yakni salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Dengan adanya UU Pers tersebut, maka saat ini kebebasan pers umumnya diartikan sebagai hak warga masyarakat untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah atau fakta publik, dan di sisi lainnya hak warga masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Kedua dimensi hak ini saling bertalian. Untuk memiliki pikiran dan pendapat tentang masalah publik, warga masyarakat dengan sendirinya harus mendapat informasi yang benar.
Selain itu menurut Ashadi Siregar, kebebasan pers dapat dilihat dari dua aras: Pertama, adalah kebebasan warga untuk mendapatkan informasi publik, serta kebebasan serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik. Kedua, kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Dua sisi kebebasan pers itu berbeda letaknya, sebab aras pertama merupakan hak dasar (asasi), dan inilah yang sesungguhnya disebut kebebasan pers. Sedangkan yang kedua merupakan implikasi logis dari yang pertama, biasa disebut kaidah pers bebas.

3. Implikasi Positif dan Negatif Pers yang Bebas
Kehadiran UU Pers No. 40 Tahun 1999, dianggap sangat akomodatif terhadap kemerdekaan pers. Karena esensi dari undang-undang ini seperti diulas sebelumnya, merupakan sebuah bukti sejarah yang monumental dalam menegakan kedaulatan rakyat, keadilan, kebenaran, demokratisasi, dan supremasi hukum.
Undang-Undang pers ini seyogyanya memberikan jaminan hukum yang lebih kuat untuk kemerdekaan pers, sehingga pers bisa menjalankan funsinya secara proposional serta optimal. UU Pers ini juga akan mendorong penghargaan hal asasi manusia (HAM). Sebab selain materi UU itu sangat menghargai kemerdekaan pers, juga memberikan jaminan atas penghargaan HAM. Maka dengan terjaminnya kemerdekaan pers akan menggerakan kembali roda lembaga demokrasi yang salama ini kurang berfungsi.
Namun, belakangan pers kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.
Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.
Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk memperjuangkan idealisme, melainkan semata-mata sebagai komoditi. Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme. Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi yang mengerti akan idealisme pers). Di sini sampailah kita pada persoalan media pers dewasa ini: tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda.
Dengan kondisi yang seperti itu, maka banyak media pers yang kebablasan dalam mengaplikasikan kebebasan pers. Hal ini bisa terjadi karena adanya pemahaman yang keliru tentang kebebasan pers (freedom of the press) dengan pers bebas (free press). Kebebasan pers, seperti yang telah dijelaskan di atas dapat diartikan sebagai hak warga masyarakat untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah atau fakta publik, dan di sisi lainnya hak warga masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Kedua dimensi hak ini saling bertalian. Untuk memiliki pikiran dan pendapat tentang masalah publik, warga masyarakat dengan sendirinya harus mendapat informasi yang benar.
Sedangkan pers bebas adalah kebebasan yang dimiliki orang pers untuk menerbitkan segala jenis media, mulai dari yang bersifat partisan secara politik, memamerkan paha dan dada, berisi tebakan kode buntut sampai yang mengurusi jin dan tuyul. Profil pengusaha yang menerbitkan juga beragam. Mulai dari konglomerat, bekas aktivis partai, pengacara, preman, calon tanah, sampai bandar narkoba. Siapa saja bisa menjadi pengusaha pers dan bisa menjadi pemimpin redaksi tanpa perlu rekomendasi organisasi wartawan, dan tenu saja: bebas penataran P4!
Dan sayangnya pers saat ini lebih mempraktekan pemahaman pers yang bebas bukan kebebasan pers. Hal ini bisa dilihat dari relitas media pers sekarang. Beberapa penelitian sekarang membuktuikan pers saat ini (paska reformasi) cenderung memiliki beberapa karakteristik wajah pers.
Pertama, isi pemberitaan pers boleh dikatakan tak lagi mengenal rambu-rambu. Pers kini tak lagi sungkan menulis soal konflik antar suku secara terbuka. Menurut Deddy Mulyana, sadar atau tidak pers kita belakangan ini cenderung berpihak kepada kelompok tertentu, memasnakan situasi yang ada, seraya menonjolkan unsur kekerasan dari konflik tersebut dalam pembirataan (misalnya jumlah korban yang cendera dan tewas, jumlah bangunan dan kendaraan yang hancur dan terbakar,kerugian material dalam rupiah) tanpa mempertimbangkan akibatnya bagi masyarakat, khususnya pihak-pihak yang bertikai.
Pemberitaan pers ditengarai juga telah memantik konflik lanjutan pada tingkat masyarakat itu sendiri. Dalam meliput konflik, pers tidak menjalankan fungsi conflict resolution. Tapi justru sebagai issue intensifier. Pendeknya, ada sebagian masyarakat yang menganggap kebebasan pers telah berubah menjadi “kebablasan pers.
Padahal pers seyogyanya melaporkan peristiwa dengan misi membantu menyelesaikan konflik antarkelompok masyarakat tersebut, misalnya dengan menampilkan nara sumber yang berimbang (cover both side), juga dengan menyediakan konteks da latar belakang peristiwa, yang harus mereka gali sendiri di lapangan dan melalui dokumen yang ada, serta yang terpenting mencari jalan keluar dan menawarkan solusi untuk memperbaiaki keadaan.


Kedua, profesi jurnalis kini adalah profesi yang terbuka. Tak ada kualifikasi seperti seseorang yang hendak membuka praktek dokter atau pengacara. Walau ada sekolah khusus untuk calon jurnalis, namun jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik, barangkali jumlahnya lebih sedikit dibanding jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan non jurnalistik.
Profesi jurnalis yang terbuka ini membuat siapa saja bisa menjadi jurnalis. Akibatnya, mana yang jurnalis sejati dan mana yang jurnalis “jadi-jadian”, dewasa ini susah untuk ditengarai. Termasuk mana media yang “jadi-jadian”, mana media yang “sejati”. Lebih jauh lagi, seorang intel, provokator, preman, sekarang ini bisa menjadi jurnalis sekaligus pemimpin redaksi merangkap sebagai pemodal. Mereka inilah kelompok yang potensial untuk menyalahgunaan (kartu) pers untuk kepentingan-kepentingan non jurnalistik. Merekalah kelompok yang bisa membangun wajah pers di era reformasi menjadi bopeng-bopeng.
Ketiga, menguatnya fenomena pers industri, yang merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi di bidang media massa. Fenomena pers industri, membuat media massa memiliki dua wajah, sebagai institusi bisnis dan institusi sosial. Kedua sifat institusional ini membawa implikasi dalam orientasi keberadaannya. Sebagai institusi bisnis media massa sama halnya dengan setiap korporasi, yaitu menjalankan operasinya dengan orientasi ke dalam (inward looking), untuk kepentingan sendiri. Sedang dalam menjalankan fungsi sebagai institusi sosial, berorientasi ke luar (outward looking) untuk kepentingan masyarakat. Pertentangan dua wajah ini menjadi perdebatan yang kunjung usai, menandai keberadaan media dalam masyarakat. Sementara ke dalam pertentangan orientasi ini membawa implikasi terhadap opersi kerja kaum jurnalis. Di satu pihak, dari dalam, jurnalis yang dituntut untuk menghasilkan informasi untuk memenuhi orientasi bisnis, pada pihak lain, dari luar, ada harapan agar menjalankan fungsi sosial. Sehingga media dan jurnalis berada di antara dua dunia, sebagai pekerja dalam konteks institusi bisnis ataukah sebagai pelaku profesi yang menjalankan fungsi sosial (Ashadi Siregar: 2002).
Yang jelas, kekuatan kapitalisme media seringkali mengorbankan fungsi pers sebagai institusi sosial. Persaingan antar media yang semakin sengit, apalagi sejak reformasi jumlah media bertambah sedemikian drastis, menjadikan pemberitaan sejumlah media pers keluar dari norma-norma etika jurnalistik. Banyak pemberitaan pers yang lebih mengedepankan sensasi, bombabtis dan mendramatisir realitas atau isu yang diliput. Semata karena orientasi untuk memenangkan pasar.













KESIMPULAN

Pers berpengaruh terhadap proses politik dan atau jalanya pemerintahan di suatu Negara demokrasi. Di Indonesia memang tidak dikenal trias politika, tetapi ada kekuasaan kehakiman, kekuasaan eksekutif dan legislative ( dan menurut UU No. 40/1999 ada kekuasaan keempat, yaitu pers).
Bagaimana cara media memainkan peranan plitik sebagai the fourth estate di dalam Negara demokrasi? Media bertindak sebagai watch dog terhadap jalannya pemerintahan. Secara rinci peran media sebagai anjing pelacak terhadap jalannya pemerintahan adalah pelaksanaan fungsi kritik, control dan koreksi yang konstrutif (fair, true, and accurate reporting).
Mengenai pengertian kebebasan pers, Ashadi Siregar mengatakan bahwa kebebasan pers dapat dilihat dari dua aras: Pertama, adalah kebebasan warga untuk mendapatkan informasi publik, serta kebebasan serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik. Kedua, kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Dua sisi kebebasan pers itu berbeda letaknya, sebab aras pertama merupakan hak dasar (asasi), dan inilah yang sesungguhnya disebut kebebasan pers.
Kebebas pers ini dituangkan dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang dianggap sangat akomodatif terhadap kemerdekaan pers. Karena esensi dari undang-undang ini seperti diulas sebelumnya, merupakan sebuah bukti sejarah yang monumental dalam menegakan kedaulatan rakyat, keadilan, kebenaran, demokratisasi, dan supremasi hukum.
Namun, belakangan pers kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya.
DAFTAR PUSTAKA

- A. Muis. Komunikasi Islami. 2001. Bandung : Remaja Rosdakarya.
- Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. 2004. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
- Deddy Mulayana. Komunikasi Populer. 2004. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
- -http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 25 November, 2008, 06:15
- Blogroll, Buku Tamu — Budiman S. Hartoyo @ 17:00

Tidak ada komentar: