Rabu, 06 Mei 2009

Retorika dan Keragaman Budaya



Di antara karunia Tuhan yang paling besar bagi manusia ialah mempunyai kemampuan berbicara. Kemampuan untuk mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan oleh mulut. Berbicara telah membedakan manusia dengan makhluk lain, dalam suatu ungkapan manusia dikatakan sebagai hayawanun natiq.
Lama sebelum lambang-lambang tulisan digunakan, orang sudah menggunakan bicara sebagai alat komunikasi. Bahkan setelah tulisan ditemukan sekalipun, bicara tetap banyak digunakan orang. Ada beberapa kelebihan berbicara yang tidak dapat digantikan dengan tulisan. Bicara lebih akrab, lebih pribadi, lebih manusiawi. Tidak mengherankan, bila ilmu bicara telah dan sedang menjadi perhatian manusia.
Kemampuan berbicara merupakan bakat tetapi, kepandaian berbicara yang baik memerlukan pengetahuan dan latihan. Orang sering memperhatikan cara dan bentuk pakaian yang dikenakannya, agar kelihatan pantas, tetapi ia sering lupa memperhatikan cara dan bentuk pembicaraan yang diucapkannya supaya kedengaran baik. Retorika sebagai ilmu bicara sebenarnya diperlukan setiap orang, bagi ahli komunikasi atau komunikator retorika adalah conditiion sine qou non.
Retorika tidak bisa lepas dari komunikasi, karena beretorika berarti penyampian pesan dari kominikator kepada komunikan. Dalam ilmu komunikasi dasar, komunikasi efektif itu terjalin ketika komunikator dan komunikan saling memahami apa yang disampaikan. Sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam komunikasi. Makanya diperlukan ilmu-ilmu penunjang lainnya untuk memudahkan menjalin komunikasi dengan orang lain. Salah satunya adalah ilmu Antopologi. Penjelasan mengenai kebiasaan suatu komunitas akan memudahkan kita berkomunikasi. Setelah terjalin komunikasi efektif , retorika berbicara akan sangat mempengaruhi dan mempermudah kita bagaimana mengajak dan berdampingan dengan suatu komunitas. Retorika komunikasi diperlukan agar menghindari persinggungan budaya, mungkin kalau dalam bahasa daerah dipahami sebagai “bahasa tatakrama”. Selain untuk, efesiensi dalam berkomunikasi.

a. Pengertian Retorika dan Komunikasi Verbal
Menurut kodratnya manusia memilki kecenderungan untuk berpikir dan menyatakan
pendapat, keinginan, perasaan serta pengalaman-pengalamannya. Di samping itu, manusia juga punya kecenderungan mempengaruhi bahkan memaksakan pikiran dan pendapatnya kepada orang lain atau kelompok. Umumnya, kecenderungan tersebut dilakuakan secara langsung melalui pembicaraan ( proses komunikasi ), baik antara pribadi maupun dalam kelompok face to face commication.
Dalam kenyataannya, seseorang yang ingin menyampaikan pendapat pada orang lain sering menghadapi berbagi masalah, tertutama apabila pendapatnya itu tidak didengar atau diterima orang lain, jelas bagi kita cara berbicara memang memberikan pengaruh dan dampak yang sangat besar atas diri dan keberadaan setiap orang.
Besar atau kecil, disegani atau dihormati, dihina atau dimuliakan sangat ditentukan oleh cara dan kesanggupanya berbicara di hadapan orang lain. Pribahasa mengatakan “mulutmu adalah harimaumu yang akan menerjang kepadamu”.Oleh karena itu, diperlukan suatu seni berbicara agar kita bisa mengatur, memikirkan terlebih dahulu apa yang akan kita katakan dihadapan orang lain atau public.
Retorika dirumuskan sebagi suatu ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana teknik seni berbicara di hadapan umum, sehingga orang merasa senang dan tertararik untuk mendengarkan uraian atau pendapat-pendapat yang disampaikan kepada orang lain dengan maksud orang atau pendengar mengetahui, memahami, menerima serta bersedia melaksanakan segala sesuatu yang disampaikan terhadap mereka.
Dilihat dari persfektif bahasa dan sejarah, retorika berasal dari bahasa Yunani yaitu rhêtôr, orator, teacher. Secara umum, retorika ialah seni atau teknik persuasi menggunakan media oral atau tertulis (Wikipedia, 1996). Sejalan dengan pengertian tersebut, Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) menjelaskan bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan suatu keterampilan menemukan secara persuatif dan objektif suatu kasus dengan meyakinkan pihak lain akan kebenaran kasus yang dibicarakan. Jadi, tujuan retorika adalah persuasi untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan topik yang dibicarakan pembicara sehingga dapat membina saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan berbicara. Jika selama ini, retorika dianggap sebagai ilmu pidato semata, sekarang fungsi retorika telah mengalami perluasan. Retorika merupakan bidang studi komunikasi yang turut mengembangkan ilmu komunikasi
Dari pengertian retorika diatas, jelas bahwa retorika tidak terpisah dari komunikasi karena sejatinya komunikasi adalah proses penyampain pesan demikian juga retorika, jika dimasukan ke dalam bentuk komunikasi, retorika termasuk komunikasi verbal.
Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang menggunakan bahasa lisan. Dalam speech communicatioan (komunikasi lisan )-yang terutama dijempunyai dalam komunikasi antar pribadi ataupun kelompok-terjadi peralihan pesan-pesan verbal dalam bentuk kata-kata. Yang pasti bahwa, unsur-unsur penting dari komunikasi tercakup di dalamnya yaitu; saluran, pesan, code, penerima dan kerangka rujukan. Setiap unsur memberikan dukungan pada komunikasi verbal.
Menurut de Vito (1978); Victoria dan Robert (1983); ada enam jenis komunikasi verbal.
Pertama, emotive speech, merupakan gaya bicara yang lebih mengutamakan pilihan kata yang didukung oleh pesan non verbal.
Kedua, phatic speech adalah gaya komunikasi verbal yang berusaha meniciptakan hubungan sosial sebagaimana dikatakan oleh Bronislaw dengan phatic communication, phatic speech ini dapat diterjemahkan secara tepat karena ia harus dilihat dalam kaitan-nya dengan kontes di saat kata diucapkan dalam suatu tatanan sosial atau suatu masyarakat.
Ketiga, cognitive speech merupakan jenis komunikasi verbal yang mengacu pada kerangka berpikir atau rujukan yang secara tegas mengartikan suatu kata denotatof dan bersufat normatif.
Keempat, rethorical speech, mengacu pada komunikasi verbal yang menekankan sifat konatif. Gaya bicara ini mengarahkan pilihan ucapan yang mendorong terbentuknya perilaku. Cara ini biasanya digunakan oleh para politisi, salesman yang bersifat persuasi.
Kelima, metalingual speech adalah komunikasi lisan secara verbal, tema pembicaraan tidak mengacu pada obyek dan peristiwa dalam dunia nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri. Tipe pembicaraan ini berbeda dari yang lain, ia bersifat sangat abstrak dan berorentasi pada code komunikasi.
Keenam, peotic speech adalah komunikasi lisan secara verbal berkutat pada stuktur penggunaan kata yang tepat melalui perindahan pilihan kata ketepatan ungkapan biasanya menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gaya-gaya lain khas.
Dari keenam jenis komunikasi verbal tersebut, maka retorika termasuk kepada jenis keempat yakni rethorical speech. Hal ini semakin mempertegas kaitan antara komunikasi dan retorika.

b. Komunikasi Antar budaya, Kaitannya dengan Retorika
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosial ekonomi). Seperti yang ditunjukan definisi tersebut, penggolongan kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak, kita boleh memilih satu atau lebih ciri untuk menandai sebuah kelompok yang memiilki budaya yang sama. Kita boleh, misalnya, berbicara tentang orang-orang asli california, nebraska atau yang lainnya sebagai berasal dari budaya-budaya regional yang berbeda, kita boleh menyebut masing-masing sebagai anggota sebuah budaya kota atau budaya desa, semuanya bisa dikelompokan dalam batasan-batasan tertentu.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimilki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Dalam sumber lain, budaya dikatakan sebagai suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat abstark, komplek dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Hubungan antar budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antar budaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Seorang Korea, seorang Mesir atau seorang Amerika belajar berkomunikasi seperti orang-orang Korea, tahu orang-orang mesir, atau orang-orang Amerika lainnya. Perilaku mereka dapat mengandang makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui, dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang dunia meraka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budaya mereka.
Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau suatu peristiwa. Cara-cara kita berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang kita gunakan, semua itu terutama merupakan respon terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terkait oleh budaya. Sebagaimana budaya berbeda antar yang satu dengan yang lainnya. Maka praktek dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula.
Keragaman budaya ada karena adanya perbedaaan budaya. Perbedaan antar dua kelompok budaya berkisar pada perbedaan yang kecil hingga perbedaan yang besar. Perbedaan antar budaya biasanya disebabkan karena hanya ada sedikit kontak antara budaya-budaya lain pada umunya. Apa yang membedakan suatu budaya dengan budaya lainnya tidak selalu jelas. Orang jawa dan Sunda yang beragama Islam memiliki persamaan dan perbedaan budaya. Keduanya mungkin merayakan Mauilid Nabi, tetapi cara memperingati antara kedua suku tersebut berbeda. Mereka mungkin sesekali berbicara bahasa yang sama, namun dengan aksen yang berbeda dan sedikit kosa kata dan ungkapan yang berbeda pula.
Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian kita segera dihadapkan dalam situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain.
Dalam menjalin komunikasi antar budaya atau dalam hal ini ber-retorika, maka kita akan menemukan kendala-kendala dalam interaksi atau proses penyampaian pesan. Keragaman dan perbedaan budaya bisa menjadi salah satu sebabnya. Meskipun sarana transfortasi dan komunikasi modern telah memungkinkan kita berhubungan dengan hampir semua orang di seluruh dunia, kapasitas teknis untuk mengirim dan menerima pesan tidak dengan sendirinya membuat orang-orang yang berbeda budaya dapat berkomunikasi dengan efektif. Perkembangan-perkembangan teknologi komunikasi efektif dengan orang yang punya bahasa berbeda, dan pengharapan yang berbeda, kepercayaan dan nilai berbeda dan pengharapan berbeda akan hubungan manusia. Interaksi antar orang-orang yang berbeda budaya telah menimbulkan lebih banyak salah pengertian daripada sebaliknya. Apalagi berkomunikasi langsung dengan maksud untuk mempengaruhi atau mengajak orang- salah satu tujuan retorika.
Dari sekian banyak teori yang dikemukakan teoritis untuk melukiskan proses komunikasi, beberapa teori jelas berlaku bagi komunikasi antar budaya. Prinsip pertama adalah suatu sistem sandi bersama. Sarbaugh (1979) berpendapat bahwa tanpa suatu sistem bersama demikian, komunikasin akan menjadi tidak mungkin.
Prinsip kedua, kepercayaan dan prilaku yang ber-lain sandi antar pihak-pihak yang yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respon. Sebenarnya, kepercayaan-kepercayaan dan prilaku-prilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada prilaku yang sama. Bila hali ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan meremalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara efektif.
Prinsip ketiga yang punya implikasi penting bagi komunikasi antar budaya adalah tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan preilaku orang lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. Di satu pihak, ada orang-orang yang sekaligus mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Ada juga orang-orang yang tidak mengetahui dan menerima, sehingga kemungkinan tinggi sekali untuk mengalami kegagalan komunikasi.
Penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku, dan penumpukan sikap toleran tehadap kepercayaan dan perilaku orang lain, semua itu membantu terciptanya komunikasi yang efktif.
Dalam konteks retorika, kesalahan dalam berbicara atau berbahasa dengan orang berbeda budaya akan sering ditemui. Penerjemahan dan pemaknaan dari satu bahasal ke bahasa lain kadang tidak hanya bisa diartikan secara harfiyah saja. Karena menurut Whorf bahasa-bahasa berbeda lebih dari sekedar yang ditunjukan terjemahan kata demi kata karena orang yang berbicara bahasa itu mempunyai kebutuhan yang berlainan.
Terjemahan harfiyah dari satu bahasa ke bahasa yang lain sering menimbulkan kesalahpahaman karena terjemahan tersebut kadang tidak memperhitungkan gaya bahasa yang berlandaskan budaya. Gaya bahasa yang rumit dalam bahasa arab dengan retorika yang berlebihan, pujian, dan metafora ganda yang diperluas membingungkan bagi mereka yang tidak mengenal bahasa Arab. Bahkan jawaban “ya” atau “tidak” dapat disalah pahami. Orang Arab ketika mengatakan tidak sering kali diualang-ulang bahkan beberapa kali ditambah dengan sumpah seperti demi Tuhan.
Pemahaman atas seluk beluk gaya bahasa khususnya sangat penting untuk dipahami. Ketika berdiplomasi, sebaiknya menggunakan trik-trik retorika yang menarik agar komunikasi yang terjalin menjadi efektif. Misalnya, Sir Hamilton dari Universitas Oxford menyarankan bahwa “ wahana untuk mengungkapkan perasaan estetik orang Arab terutama wahana.... adalah wahana kata dan bahasa- yang paling menggoda, mungkin dan tentu saja seni yang paling tidak stabil dan paling berbahaya dari semua seni”.
Kendala dalam menjalin komunikasi dalam konteks retorika antar budaya dapat lebih sulit. Manakala setiap anggota dari budaya yang berbeda mempunnyai etnosentrisme, yakni kecenderunngan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian yang tinggi. Selain itu pensterotipan terhadap kelompok lain dapat pula menjadi hambatan dalam retorika antar budaya.
Oleh karena itu, agar retorika yang dilakukan kepada budaya lain itu efektip, diperlukan suatu standar etika yang disetujui bersama. Merril dalam hal ini menyarankan bahwa mungkin ada beberap prinsip etika luas yang melebihi setiap budaya atau negara tertentu. Dengan kata lain, terdapat nilai-nilai universal, yakni salah satunya adaptasi Kaidah Emas:“ berkomunikasilah dengan mereka yang bersedia mengenal hal-hal dengan cara-cara yang kita kehendaki digunakan orang lain untuk berkomunikasi dengan kita. Nilai kedua adalah adaptasi Imperetif Kategoris Kant:”berkomunikasilah mengenai hal-hal dan dengan cara sedemikian rupa sehingga kita bersedia menjadikan apa yang kita lakukan sebagai nilai universal”. Selain itu Howell dalam makalahnya yang berjudul “Ethic of Intrecultural Communication” juga merekomendasikan bahwa komunikator antar budaya selalu “menunjukan penghargaan terhadap nilai, moral, dan praktik normatof budaya lain” serta mereka juga menahan diri dari evaluasi.”
Salah satu standar yang sering disarankan sebagai prinsip untuk memadu etika komunikasi antar budaya adalah beberapa versi dari Kaidah Emas yang telah disebutkan di atas. Namun, Milton Bennet menegaskan secara meyakinkan bahwa kaidah emas paling baik diterapkan dalam suatu budaya yang mempunyai konsensus luas mengenai nila-nilai asasi, sasaran, struktur, dan kebiasaan. Dengan kata lain, kaidah emas menganggap bahwa semua orang adalah sama, bahwa orang lain ingin diperlakuakan seperti halnya kita. Anggapan seperti itu tidak dapat diterapkan dalam komunikasi dalam beretorika dengan budaya lain. Sebagai altenatifnya, Bennet menawarkan kaidah Paltiana: “bersikaplah dan berkatalah kepada orang lain, sebagaimana mereka sendiri ingin bersikap tehadap dirinya.” ia mendorong pengembangan empati sebagai keterampilan komunikasi yamg esensial untuk melaksanakan kaidah ini, yakni :” partisipasi intelektual dan emosional imajinatif terhadap pengalaman orang lain.

Secara alamiah manusia memilki kecenderungan untuk berpikir dan menyatakan
pendapat, keinginan, perasaan serta pengalaman-pengalamannya. Di samping itu, manusia juga punya kecenderungan mempengaruhi bahkan memaksakan pikiran dan pendapatnya kepada orang lain atau kelompok. Umumnya, kecenderungan tersebut dilakuakan secara langsung melalui pembicaraan ( proses komunikasi ), baik antara pribadi maupun dalam kelompok face to face commication.
Dalam menjalankan komunikasi verbal antar kelompok, mungkin kita mudah beradaptasi. Walaupun dalam satu komunitas terdapat keeragaman pikiran, minimal, akan tetapi pemahaman dan jalinan kesepakatan bersama telah terjadi. Namun bagaimana ketika kita di sandingkan dengan keberagaman budaya, seperti di Indonesia. Tentunya akan memerlukan waktu adaptasi dalam prosesi memahami antar budaya. Dalam hal ini dibutuhkan kecakapan beretorika agar tidak menimbuklan cless antar budaya. Keragaman budaya sendiri merupakan fenomena yang harus dicermati secara cermat.
Kendala dalam menjalin komunikasi dalam konteks retorika antar budaya dapat lebih sulit. Manakala setiap anggota dari budaya yang berbeda mempunnyai etnosentrisme, yakni kecenderunngan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian yang tinggi. Selain itu pensterotipan terhadap kelompok lain dapat pula menjadi hambatan dalam retorika antar budaya.
Terakhir, kecakapan ber-retorika jelas sangat diperlukan. Apalagi dalam menghadapi keberagaman budaya. Sebagian orang beranggapan bahwa budaya merupakan ceriminan suatu entitas. Oleh karnanya, diperlukan keterampilan dalam memahami suatu budaya tersebut. Mulai dari tata cara, adat istiadat dan lain sebagainya. Semua ini menjadi bahan dalam memudahkan menjalin komunikasi aktif dengan setiap keberagaman budaya. Tentunya hal ini akan tercipta, jika kita saling menghargai dan menghormati antar budaya yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

• Mulyana, dede. Komunikasi antarbudaya.1989. bandung: rosdakarya.
• Anwar, gentasari. Retoroki praktis. 1995.jakrta: rineka cipta.
• Mulyana, dedi. Komunikasi populer. 2004. bandung: pustaka bani quraisy
• Tubbs, stewart. Human communication. 1996. bandung: rosdakarya.
• Johannesen, richard. Etika komunikasi.1996. bandung: rosdakarya.
• Rakhmat, jalaludin. Retoriak modern. 2007. bandung: rosdakarya.
• Liliweri, alo. Komunikasi verbal dan non verbal. 1994. bandung: citra aditya

radio siaran sebagai media tabligh


Radio sairan adalah media massa elektronik tertua dan sangat luwes. Selama hampir satu abad lebih keberadaannya, radio siaran telah berhasil mengatasi persaingan keras dengan bioskop, rekaman, televise dan media yang lainnya. Radio telah beradaptasi dengan perubahan dunia, dengan mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan melengkapi dengan media lainnya.
Radio siaran dikatakan sebagai kekuatan kelima atau the fifth estate setelah surat kabar. Dikatakan demikian karena radio siran mempunyai fungsi yang sama dengan surat kabar, yakni fungsi kontrol, memberi informasi, menghibur, mendidik dan melakukan persuasi.
Fungsi radio siaran tersebut akan terjabarkan dengan keefektifan radio siaran sebagai salah satu media massa. Keefektifan ini bisa dilihat dari daya kekuatan yang dimilki radio siaran yang, antara lain, daya langsung, daya tembus, dan daya tarik. Daya langsung radio siaran berkaitan dengan pelaksaan proses penyiaran yang berlangsung dengan mudah dan cepat. Yang dimaksud dengan daya langsung bahwa radio siaran tidak mengenal jarak dan rintangan. Sedangkan daya tariknya berkaitan erat dengan musik, kata-kata dan efek suara.
Dengan fungsi dan karakteristik tersebut, radio siaran dapat dijadikan media yang efektif untuk bertabligh. Dalam hal ini tabligh merupakan suatu penyebarluasan ajaran Islam yang memilki ciri-ciri tertentu. Ia bersifat incidental, oral, massal, seremonial, bahkan kolosal. Ia terbuka bagi beragam agregat sosial dari berbagai kategori. Ia berhubungan dengan peristiwa penting dalam kehidupan manusia secara individual atau kolektif.
Di samping itu, ia juga mencakup penyebarluasan ajaran Islam melalui sarana pemancarana atau sarana transmisi dengan mengugunakan elektromagnetik yang diterima oleh pesawat radio atau telivisi. Ia juga bersifat massal, bahkan bisa tanpa batasan ruang dan wilayah. Walaupun karena jangkauannya yang luas, intensitasnya relative rendah.
Dengan demikian hubungan tabligh dengan perkembangan teknologi komunikasi, salah satunya radio siaran, tidak diragunakan lagi memiliki kaitan yang sangat erat, malahan tidak bisa dipisahkan. Tabligh disadari atau tidak, memerlukan teknologi komunikasi sebagai media untuk mencapai mad’unya.
Kian hari media komunikasi semakin berkembang. Perkembangan teknologi komunikasi tersebut merupakan peluang sekaligus tantanan bagi para muballigh. Dikatakan sebagai peluang, berarti dengan semakin beragamnya media komunikasi dan semakin praktis dan efektif seorang komunikator berhubungan dengan komunikan, maka jika media komunikasi massa tersebut digunakan untuk bertabligh, akan menjadikan tabligh cepat dan tepat kepada sasarannya.Akan tetapi, ia juga bisa dikatakan sebagai tantangan, sebab untuk menggunakannya saja, para muballigh perlu memiliki keterampilan

Perspektif Islam terhadap Novel Fiksi Fantasy


Media massa layaknya sebilah pisau yang mempunyai dua sisi. Pisau bisa kita gunakan untuk memotong buah-buahan hingga kita dapat dengan mudah memakannya, bisa juga kita gunakan untuk melukai orang. Demikian hal dengan media massa yang mempunyai sifat informative dan entertain atau menghibur, serta educate atau mendidik. Pesan yang disajikan di media massa tersebut bisa sangat bermanfaat, namun bisa juga sangat merusak. Kerusakan tatanan kehidupan masyarakat sebagai khalayak, dari pola pikir sampai tingkah laku dapat disebabkan oleh media massa, baik elektronik maupun cetak.
Media cetak saat ini bukan hanya koran, majalah, ataupun bulletin, yang tidak kalah maraknya adalah karya sastra salah satunya novel. Menurut Jakob Sumardjo, novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat.
Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, dan memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel hiburan adalah novel yang syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang selesai membacanya
Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya, bukan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka,yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Novel mempunyai dua fungsi, yakni fungsi sosial dan fungsi menghibur. Novel berfungsi sosial lantaran novel yang baik ikut membina manusia menjadi manusia yang unggul. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya.
Novel hiburan ini merupakan bacaan ringan yang menghibur dan jauh lebih banyak ditulis dan diterbitkan serta lebih banyak dibaca orang. Sebagai pembaca untuk jenis novel hiburan ini jumlahnya sangat banyak karena sifatnya yang personal dan isinya bukan hanya kenyataan tapi juga gambaran fantasi pengarang.
Salah satu novel hiburan yang banyak beredar sekarang adalah novel fantasi. Beberapa novel fantasi seperti Harry Potter, The Magyk, Lord of The Ring, The Bartimaeus Trilogy, dan lain-lain semuanya meraih predikat bestseller dan diterjamahkan di berbagai bahasa. Novel-novel fantasi tersebut banyak digemari oleh pembaca dari semua golongan masyarakat mulai dari anak-anak sampai dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Tema mistik dan kekerasan sangat dominant pada novel-novel fantasi ini.
Menurut penelitian Rahma Sugiharti, lebih banyak anak yang membaca komik atau novel yang bergambar 64%, majalah 34%, ketimbang ilmu penegtahuan dengan prosentase 32% (Deddy Mulyana, 1999:139).
Apabila ditelaah lebih jauh, tidak ada manfaat dari novel fantasi tersebut selain hanya untuk menghibur, bahkan akan merusak dan mendangkankan logika serta aqidah. Padahal sejatinya sebuah karya tulis yang baik adalah yang dapat mendidik pembacanya, memberikan pencerahan pemikiran, dan memotivasi pembacanya untuk melakukan kebaikan.
Mengingat begitu maraknya novel fantasi di pasaran dan dampak negatif yang ditimbulkannya pun tidak sedikit, kita sebagai kalangan intektual muslim yang konsen di bidang dakwah harus mengkritisi fenomena ini. Karena tentunya, fenomena tersebut menjadi halangan dan rintangan bagi dakwah Islam. Semakin banyak masyarakat yang membaca novel-novel fantasi, semakin dangkal aqidahnya. Karena pemahaman umat tentang aqidah Islamiah salah satunya mengenai hal ghaib akan dipalingkan dengan pemahaman yang salah yang terdapat pada novel-novel fantasi tersebut.
Pendangkalan aqidah ini merupakan suatu bentuk ghozwul fikri yang dilakukan oleh kaum kafir. Ghowul fikri dapat diartikan sebagai usaha yang digunakan untuk merubah pemikiran dari Islami menjadi sebaliknya. Ghozwul fikri atau perang pemikiran yang dilakukan kaum kafir, baik yahudi atau nasrani bahkan orientalis menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia. Tidak hanya mengenai masalah-masalah ilmu pengetahuan, tapi juga seluruh dimensi kehidupan diawali dengan pemikiran itu sendiri. Terutama persepsi yang seringkali kita munculkan, seringkali kita dengar dari orang-orang, seperti mengenai hal ghaib yang digambarkan secara salah dalam novel-nonel fantasi, itu jelas merupakan bagian dari proses yang sedang digarap dalam proses ghozwul fikri
Ghozwul fikri dilakukan dengan menggunakan tujuh perangkap, yang sering disebut dengan istilah “7 F”, yaitu food, film, fashion of life style, free thinkers, faith, dan frictian. Khusus dalam hal faith (iman), Toto Tasmara dalam Abu Alghifari (2001:35) menyebutkan, bahwa kaum yahudi dan nasrani secara terbuka menolak terhadap dogma agama yang irasional (tidak masuk akal) diantaranya, alam kubur, alam akhirat, dan siksa neraka. Kebencian mereka tehhadap nabi Muhammad saw dan para juru dakwah menyebabkan mereka terus berusaha untuk menghapus kewibawaanya di mata anak-anak muda. Dicipatakanlah tokoh-tokoh tiruan yang hebat, kuat perkasa, ganteng, seksi, pintar, dan serba bisa. Tak henti sampai disana, untuk merusak lebih hebat lagi norma-noram agama, mereka ciptakan cerita-cerita fiktif (dongeng), aliran-aliran kepercayaan (sekte-sekte) yang umunya bertolak belakang dengan Islam.
Cerita-cerita fiktif atau dongeng yang merusak akidah terdapat di beberapa novel fantasi, salah satunya pada novel The Bartimaeus Trilogy #1 - Amulet Samarkand yang penuh dengan cerita mistik atau sihir, karya Jonathan Stroud.
Novel tersebut disprediksi akan menggantikan novel Harry Potter yang cukup fenomenal. Dunia sihir yang digambarkan dalam novel ini tidak kalah gelap dengan dunia sihir Harry Potter dan sarat dengan intrik sihir yang penuh darah, pemberontakan, dan pembunuhan. Selain itu, dalam alur cerita mistiknya terdapat humor-humor yang segar sehingga pembaca tidak bosan.
Cerita dalam the Bartimaues menggambarkan alam ghaib, seperti jin dengan gambaran yang menyimpang dari ajaran Islam. Sihir dan mantra-mantra serta takhayul ( mempercayai hal-hal yang tidak mungkin terjadi baik secara aqliyah maupun naqliyah) menjadi tema yang sangat dominan.
Padahal agama Islam mengajarkan bahwa pengetahuan yang dimiliki tentang hal ghaib adalah amat sedikit. Sebagaimana Allah menyebutkannya dalam al-Quran (17: 85) yang berbunyi:


Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu dapat diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Hal itu dilakukan agar umat Islam tidak bermain-main dengan informasi yang menyerempet keyakinan, yang lebih membahayakan adalah efeknya. Orang menjadi takut akan makhluk ghaib, bahkan lebih berbahaya lagi akan memujanya. Pemujaan terhadap makluk ghaib ini kita kenal dengan istilah syirik atau menyekutukan Allah dan orang yang melakukannya adalah musyrik. Syirik ini adalah salah dosa yang tidak dapat diampuni oleh Allah, seperti yang tertera dalam firman-Nya pada surat an- Nisa Ayat 48:




Sesungguhnya Allah tidak akan Mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang Dikehendaki-Nya. Barang siapa memperseketukan Allah, maka sungguh is berbuat dosa yang besar (an- Nisa: 48)

STRATEGI DAKWAH

Memasuki era informasi dan globalisasi seperti sekarang ini, dimana umat Islam tidak hanya mengalami kebangkitan tapi juga mengalami suatu kegelisahan karena mengetahui ternyata ada suatu yang salah pada system ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan, maka kegiatan tabligh telah menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Pada kondisi seperti itu, tidak dapat dihindari kegiatan-kegiatan penyampaian pesan-pesan Islam menjadi marak. Hal ini ditandai dengan semakin bermunculan pengajian-pengajian baik yang diadakan oleh individu, organisasi, pemerintah ataupun instansi lainnya. Pengajian disamping berperan sebagai salah satu media penyampaian pesan illahiyah, penanaman pemahaman, penataran, pembinaan dan pengembangan Islam juga berperan sebagai sarana pembentuk karakter, sikap, ketahanan mental, solidaritas social dan lain-lain.
Oleh karena itu, kegiatan tabligh merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, karena tanpa adanya kegiatan tabligh, agama tidak akan erkembang dan berwawasan. Hal ini terbukti bahwa seluruh ajaran agama di dunia, perkembangannya banyak ditentukan oleh kegiatan bertabligh dan kelancaran tabligh itu sendiri.
Pengertian menyampaikan dalam tabligh, sudah kita mafhumi bersama, bahwa tabligh mempunyai prinsip untuk menyampaikan kebenaran. Bahkan tidak hanya menyampaikan tapi juga menyeru atau mengajak umat dari kejahilan kepada kebenaran, dari kegelapan kepada terang benderang. Hal ini tentunya harus menjadi suatu usaha tabligh.
Usaha tabligh adalah menyeberluaskan ajaran Islam dan mengejawantahkannya di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Lebih jauhnya, usaha tabligh adalah bertujuan hendak menggarami kehidupan budaya bangsa dengan nilai nilai Islam yang handal dan berkualitas tinggi. Hal ini tidak dapat dipungkiri merupakan kewajiban umat Islam.
Umat Islam sebagai pendukung amanah untuk meneruskan risalah, mempunyai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan bertabligh atau berdakwah karena umat islam sebagai umat pilihan, yang menjadi khalifah di muka bumi, sesuai dengan firman alla dalam suar al-imran 110
Penyelenggraan kegiatan tabligh pada masa sekarang dan yang akan datang akan semakin komplek, hal ini disebabkan karena masalah-masalah yang dialami tabligh semakin berkembang dan kompleks pula, mulai dari persoalan akidah, ibadah, dan muamalah pendukung dan pelaksana tabligh.
Keadaan demikian diperkuat dengan adanya fakta hasil penelitian yang dilakukan oleh DR. Amin Rais tahun 2008, bahwa di Jakarta, orang yang ahli masjid saja hanya 40% yang mengerti arti al-fatihah dan mengerti arti bacaan shalat hanya 10% . Fakta tersebut menggambarka kalau yang ‘buta agama’ dari umat Islam masih mayoritas. Semua kenyataan ini menunjukan perlunya umat Islam untuk berpikir aktif dan dinamis. Artinya dalam setiap kegiatan bertabligh (ajaran islam), siapun orangnya atau lembaga apapun namanya, harus dapat memperhatikan strategi yang benar-benar matang agar dari prinsip-prinsip kegiatan tabligh tersebut dapat terwujud.
Karena menurut Onong Uchyana (1990: 32), strategi yang tepat dalam berdakwah akan menjadi standar untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan dakwah. Strategi itu sendiri merupakan perencanaan dan management untuk mencapai suatu tujuan. Strategi tidak hnaya berfungsi sebagai peta jalan yang menunjukan arah, melainkan harus menunjukan bagaimana teknik operasinya.
Adalah suatu realitas, bahwa manusia mempunyai sifat heterogenitas satu sama lain. Cara berpikir yang berbeda-beda yang dilatarbelakangi oleh geografis, budaya, social, dan ekonomi, sangat berpengaruh pada cara mereka mempersepsikan pesan-pesan tabligh yang disampiakn oleh muballagh. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tabligh memerlukan strategi yang efisien dan efektif sehingga apa yang menjadi target tabligh dapat berhasil.
Keadaan manusia yang heteroden tersebut, salah satu contohnya terdapat pada jamaah masjid Mujahidin. Tidak hanya kalangan awam tetapi juga kalangan intelektual yang notabene mempunyai latar pendidikan tinggi. Dilihat dari segi usia, jamaah mujahidin terdiri dari usia muda sampai orang tua dengan latar belakang ekonomi dan budaya dan social yang berbeda.
Dari hal diatas itu dapat dipahami banyak hal yang harus diperhatiakn oleh seorang muballigh untuk mencapai kegiatan bertabligh yang sukses. Tabligh sebagai salah satu bnetuk komunikasi yang akan banyak melibatkan factor-faktor social psikologis dari komunikannya, disamping juga mempertimbngkan situasi lingkungan secara fisik dimana komunikasi tabligh itu dilakukan. Dan secara lebi luas, pada hubungan social objek tabligh agar sesuai dengan misi dari ajaran islam. Dengan demikina suatu strategi tabligh tentu adalah upaya untuk mempengaruhi manusia dengan memanfaatkan latar belakang pengalaman dan pandangannya sehingga ide-ide yang diterima atau dirasakan oleh objek tabligh tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan bermanfaat bagi dirinya.
Oleh karenanya, dalam menhadapi umat semacam itu diperlukan startegi yang benar-benar terarah dalam mnecapai sasaran tabligh yang hendak dicapai. Hal ini benar-benar bahwa aktivitas tabligh tidak lagi disukseskan atas adasar suatu factor pun saling menbantu, mempengaruhi dan berpangkal pada unsure lainnya. (asumi Syukir: 1983: 65)
Al-quran lebih jauh memberi petunjuk, dalam bertabligh kepada umat amnesia dengan macam-macam sifat dan tingkah laku, yang berfirman dalam surat an-Nahl 125:

Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Serta ditegaskan kembali lewat hadist rosul saw,

‘Kami perintahkan supaya berbicara kepada umat manusai menurut kadar akalnya (kecerdasan mereka masing-masing). (HR. Muslim)

PERS YANG BEBAS

1. Relasi Pers dan Politik

System media massa atau pers disuatu negara berkaitan dengan situasi politik di Negara tersebut. System politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah. Dengan kata lain system pers pada suatu Negara mencerminkan sistem sosial yang di dalamnya diatur hubungan-hubungan antar individu dengan lembaga-lembaga yang ada. Pola hubungan media massa (cetak, radio, televise, online – selanjutnya disebut media atau pers) dan pemerintahan di suatu negara erat kaitanya dengan system dan stuktur poitik yang berlaku di Negara dimana kedua lembaga tersebut berada. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa suatu system pers akan mencerminkan falsafah politik Negara yang bersangkutan.
Kemudian apabila dilihat dari segi ilmu dan praktek komunikasi, maka pers umumya adalah salah satu saluran komunikasi politik. Jadi media mempunyai fungsi politik. Diamping itu, tersirat pula di dalamnya fungsi kritik, koreksi dan fungsi control seperti yang ditentuka oleh UU No. 40/1999. serta fungsi informasi, fungsi pendidikan dan bahkan fungsi hiburan, pers biasa pula memuat masalah politik yang berisi muatan kritik, koreksi dan kontrol sosial.
Pers juga berpengaruh terhadap proses politik dan atau jalanya pemerintahan di suatu Negara demokrasi. Di Indonesia memang tidak dikenal trias politika, tetapi ada kekuasaan kehakiman, kekuasaan eksekutif dan legislative ( dan menurut UU No. 40/1999 ada kekuasaan keempat, yaitu pers).
Bagaimana cara media memainkan peranan plitik sebagai the fourth estate di dalam Negara demokrasi? Media bertindak sebagai watch dog terhadap jalannya pemerintahan. Secara rinci peran media sebagai anjing pelacak terhadap jalannya pemerintahan adalah pelaksanaan fungsi kritik, control dan koreksi yang konstrutif (fair, true, and accurate reporting). Hal itu terdapat dalam UU No. 40/1999 dan dalam pasal 12 Tap XVII/MPR/1998 tentang HAM (pasal 12 mengatur hak-hak masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi secara benar).
Oleh karena itu pers sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat. Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Tidak salahlah apabila wartawan disebut aktor politik. Melalui berita-beritanya, ulasan-ulasanya dan wawancara-wawancaranya mengenai berbagai isu politik, wartawan dapat membentuk opini public tentang isu politik tersebut. Opini publik tidak dapat digunakan oleh masing-masing cabang kekuasaan tanpa diwakili oleh pers. Dengan demikian pers memang memilki relasi dan peranan sebagai institusi politik.

2. Pengertian Pers Yang Bebas
Merujuk pada teori pers, menurut penulis ada beberapa teori pers yang mendekati kepada pengertian pers yang bebas. Teori libertarian ( Libertarian Theory), dalam hubungannya dengan kebebasan pers teori ini beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikran-pikiran yang hanya secara efektif dapat diterima ketika itu apabila disampaikan melalui pers.
Meskipun teori libertarian ini terlihat sangat bebas namun pada dasarnya terori ini juga mempunyau batasan atau peraturan dalam menyiarkan sebuah berita. Peraturan tersebut seperti; pers dilarang menyiarkan pencemaran nama baik atau penghinaan, menampilkan pornografi, tidak sopan, dan melawan pemerintah. Bila dilanggar, maka akan diproses melalui pengadilan.
Teori lainnya yaitu Teori Tanggung Jawab Sosial ( Social Responsibility Theory). Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat, adanya pembatasan atas dasar moral dan etika dan pers harus melakukan tugasnya sesuai dengan standar hukum tertentu.
Dalam teori tanggung jawab sosial ini, prinsip kebebasan pers masih dipertahankan, tapi harus disetai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan tugas pokoknya, misalnya dalam menyiarkan berita harus bersikap objektif, atau tidak menyiarkan berita yang dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat. Pers dilarang mengemukan tulisan yang melanggar hak-hak pribadi yang diakui hukum, serta dilarang melanggar kepentingan vital masyarakat.
Teori tanggung jawab sosial ini lebih baik dari teori libertarian, karena apabila dilihat dari segi devinisi, teori ini merupakan revisi dari teori-teori sebelumnya yang mengganggap bahwa tanggungjawab pers terhadap masyarakat sangat kurang.
Pada tataran Negara kita, system pers Indonesia tidak dapat dikategorikan kepada salah satu teori pers di atas. Meskipun mendekati Teori Tanggung Jawab Sosial, tetapi system pers kita tidak identik dengan teori tersebut. System pers Indonesia mempunyai kekhasan sesuai ideologi dan falsafah Negara Indonesia (Pancasila) dan budaya masyarakat Indonesia yang khas pula.
Pers Indonesia sebagai sautu sistem, terkait dengan aspek-aspek lainnya yang tertuang dalam Keputusan dewan Pers Nomor. 79/XIV/1974 yang intinya mengemukakan bahwa kebebasan pers Indonesia berlandaskan :
a. Segi idiil : Pancasila
b. Konstitusioanal: Undang-Undang Dasar 1945 dan ketetapan MPR
c. Strategis: Garis-Garis Besar Haluan Negara
d. Yuridis: Undang-Undang Pokok Pers nomor. 21 Tahun 1982 (sekarang ditambah dengan undang-undang penyiaran)
e. Kemasyarakatan: tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia
f. Etis: norma-norma kode etik profesional

Pers Indonesia mempunyai kewajiban:
a. Mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen.
b. Memperjuangkan pelaksaan Amanat Penderitaan rakkyat berlandaskan Demokrasi Pancasila.
c. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers.
d. Membina persatuan dan menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, leberalisme, komunisme dan fasisme/diktator.
e. Menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktifdan progresif-revolusioner.

Kebebasan pers Indonesia dijamin oleh pasal 28 UUD-1945 yang intinya mengemukakan bahwa setiap warga Negara Indonesai bebas mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian setaip warga Negara mempunyai hak penerbitan pers asal sesuai dengan karakter demokrasi pancasila. Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab dan berlandaskan pada nilai-nilai pancasila. Contohnya setiap pemberitaan atau jenis pesan kominikasi lainnya tidak boleh menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang pada hakikatnya akan menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah perasatuan dan kesatuan bangsa. Hal lainya yang tidak boleh dilakukan media massa terdapat pasal-pasal tetentu alam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana), diantaranya adalah Pasal 134 KUH Pidana mengenai penghinaan terhadap Kepala Negara yang disebarkanluaskan melalui media massa, dan lain-lain.
Pada era reformasi, lahir produk undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, diamana esensi undang-undang ini merupakan sebuah bukti sejarah yang monumental dalam menegakan kedaulatan rakyat, keadilan, kebenaran, demikrasi dan supremasi hukum. Dalam undang-undang pers ini istilah kebebasan pers disepakati dan diganti menjadi kemerdekaan pers, yakni salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Dengan adanya UU Pers tersebut, maka saat ini kebebasan pers umumnya diartikan sebagai hak warga masyarakat untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah atau fakta publik, dan di sisi lainnya hak warga masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Kedua dimensi hak ini saling bertalian. Untuk memiliki pikiran dan pendapat tentang masalah publik, warga masyarakat dengan sendirinya harus mendapat informasi yang benar.
Selain itu menurut Ashadi Siregar, kebebasan pers dapat dilihat dari dua aras: Pertama, adalah kebebasan warga untuk mendapatkan informasi publik, serta kebebasan serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik. Kedua, kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Dua sisi kebebasan pers itu berbeda letaknya, sebab aras pertama merupakan hak dasar (asasi), dan inilah yang sesungguhnya disebut kebebasan pers. Sedangkan yang kedua merupakan implikasi logis dari yang pertama, biasa disebut kaidah pers bebas.

3. Implikasi Positif dan Negatif Pers yang Bebas
Kehadiran UU Pers No. 40 Tahun 1999, dianggap sangat akomodatif terhadap kemerdekaan pers. Karena esensi dari undang-undang ini seperti diulas sebelumnya, merupakan sebuah bukti sejarah yang monumental dalam menegakan kedaulatan rakyat, keadilan, kebenaran, demokratisasi, dan supremasi hukum.
Undang-Undang pers ini seyogyanya memberikan jaminan hukum yang lebih kuat untuk kemerdekaan pers, sehingga pers bisa menjalankan funsinya secara proposional serta optimal. UU Pers ini juga akan mendorong penghargaan hal asasi manusia (HAM). Sebab selain materi UU itu sangat menghargai kemerdekaan pers, juga memberikan jaminan atas penghargaan HAM. Maka dengan terjaminnya kemerdekaan pers akan menggerakan kembali roda lembaga demokrasi yang salama ini kurang berfungsi.
Namun, belakangan pers kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.
Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.
Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk memperjuangkan idealisme, melainkan semata-mata sebagai komoditi. Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme. Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi yang mengerti akan idealisme pers). Di sini sampailah kita pada persoalan media pers dewasa ini: tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda.
Dengan kondisi yang seperti itu, maka banyak media pers yang kebablasan dalam mengaplikasikan kebebasan pers. Hal ini bisa terjadi karena adanya pemahaman yang keliru tentang kebebasan pers (freedom of the press) dengan pers bebas (free press). Kebebasan pers, seperti yang telah dijelaskan di atas dapat diartikan sebagai hak warga masyarakat untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah atau fakta publik, dan di sisi lainnya hak warga masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Kedua dimensi hak ini saling bertalian. Untuk memiliki pikiran dan pendapat tentang masalah publik, warga masyarakat dengan sendirinya harus mendapat informasi yang benar.
Sedangkan pers bebas adalah kebebasan yang dimiliki orang pers untuk menerbitkan segala jenis media, mulai dari yang bersifat partisan secara politik, memamerkan paha dan dada, berisi tebakan kode buntut sampai yang mengurusi jin dan tuyul. Profil pengusaha yang menerbitkan juga beragam. Mulai dari konglomerat, bekas aktivis partai, pengacara, preman, calon tanah, sampai bandar narkoba. Siapa saja bisa menjadi pengusaha pers dan bisa menjadi pemimpin redaksi tanpa perlu rekomendasi organisasi wartawan, dan tenu saja: bebas penataran P4!
Dan sayangnya pers saat ini lebih mempraktekan pemahaman pers yang bebas bukan kebebasan pers. Hal ini bisa dilihat dari relitas media pers sekarang. Beberapa penelitian sekarang membuktuikan pers saat ini (paska reformasi) cenderung memiliki beberapa karakteristik wajah pers.
Pertama, isi pemberitaan pers boleh dikatakan tak lagi mengenal rambu-rambu. Pers kini tak lagi sungkan menulis soal konflik antar suku secara terbuka. Menurut Deddy Mulyana, sadar atau tidak pers kita belakangan ini cenderung berpihak kepada kelompok tertentu, memasnakan situasi yang ada, seraya menonjolkan unsur kekerasan dari konflik tersebut dalam pembirataan (misalnya jumlah korban yang cendera dan tewas, jumlah bangunan dan kendaraan yang hancur dan terbakar,kerugian material dalam rupiah) tanpa mempertimbangkan akibatnya bagi masyarakat, khususnya pihak-pihak yang bertikai.
Pemberitaan pers ditengarai juga telah memantik konflik lanjutan pada tingkat masyarakat itu sendiri. Dalam meliput konflik, pers tidak menjalankan fungsi conflict resolution. Tapi justru sebagai issue intensifier. Pendeknya, ada sebagian masyarakat yang menganggap kebebasan pers telah berubah menjadi “kebablasan pers.
Padahal pers seyogyanya melaporkan peristiwa dengan misi membantu menyelesaikan konflik antarkelompok masyarakat tersebut, misalnya dengan menampilkan nara sumber yang berimbang (cover both side), juga dengan menyediakan konteks da latar belakang peristiwa, yang harus mereka gali sendiri di lapangan dan melalui dokumen yang ada, serta yang terpenting mencari jalan keluar dan menawarkan solusi untuk memperbaiaki keadaan.


Kedua, profesi jurnalis kini adalah profesi yang terbuka. Tak ada kualifikasi seperti seseorang yang hendak membuka praktek dokter atau pengacara. Walau ada sekolah khusus untuk calon jurnalis, namun jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik, barangkali jumlahnya lebih sedikit dibanding jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan non jurnalistik.
Profesi jurnalis yang terbuka ini membuat siapa saja bisa menjadi jurnalis. Akibatnya, mana yang jurnalis sejati dan mana yang jurnalis “jadi-jadian”, dewasa ini susah untuk ditengarai. Termasuk mana media yang “jadi-jadian”, mana media yang “sejati”. Lebih jauh lagi, seorang intel, provokator, preman, sekarang ini bisa menjadi jurnalis sekaligus pemimpin redaksi merangkap sebagai pemodal. Mereka inilah kelompok yang potensial untuk menyalahgunaan (kartu) pers untuk kepentingan-kepentingan non jurnalistik. Merekalah kelompok yang bisa membangun wajah pers di era reformasi menjadi bopeng-bopeng.
Ketiga, menguatnya fenomena pers industri, yang merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi di bidang media massa. Fenomena pers industri, membuat media massa memiliki dua wajah, sebagai institusi bisnis dan institusi sosial. Kedua sifat institusional ini membawa implikasi dalam orientasi keberadaannya. Sebagai institusi bisnis media massa sama halnya dengan setiap korporasi, yaitu menjalankan operasinya dengan orientasi ke dalam (inward looking), untuk kepentingan sendiri. Sedang dalam menjalankan fungsi sebagai institusi sosial, berorientasi ke luar (outward looking) untuk kepentingan masyarakat. Pertentangan dua wajah ini menjadi perdebatan yang kunjung usai, menandai keberadaan media dalam masyarakat. Sementara ke dalam pertentangan orientasi ini membawa implikasi terhadap opersi kerja kaum jurnalis. Di satu pihak, dari dalam, jurnalis yang dituntut untuk menghasilkan informasi untuk memenuhi orientasi bisnis, pada pihak lain, dari luar, ada harapan agar menjalankan fungsi sosial. Sehingga media dan jurnalis berada di antara dua dunia, sebagai pekerja dalam konteks institusi bisnis ataukah sebagai pelaku profesi yang menjalankan fungsi sosial (Ashadi Siregar: 2002).
Yang jelas, kekuatan kapitalisme media seringkali mengorbankan fungsi pers sebagai institusi sosial. Persaingan antar media yang semakin sengit, apalagi sejak reformasi jumlah media bertambah sedemikian drastis, menjadikan pemberitaan sejumlah media pers keluar dari norma-norma etika jurnalistik. Banyak pemberitaan pers yang lebih mengedepankan sensasi, bombabtis dan mendramatisir realitas atau isu yang diliput. Semata karena orientasi untuk memenangkan pasar.













KESIMPULAN

Pers berpengaruh terhadap proses politik dan atau jalanya pemerintahan di suatu Negara demokrasi. Di Indonesia memang tidak dikenal trias politika, tetapi ada kekuasaan kehakiman, kekuasaan eksekutif dan legislative ( dan menurut UU No. 40/1999 ada kekuasaan keempat, yaitu pers).
Bagaimana cara media memainkan peranan plitik sebagai the fourth estate di dalam Negara demokrasi? Media bertindak sebagai watch dog terhadap jalannya pemerintahan. Secara rinci peran media sebagai anjing pelacak terhadap jalannya pemerintahan adalah pelaksanaan fungsi kritik, control dan koreksi yang konstrutif (fair, true, and accurate reporting).
Mengenai pengertian kebebasan pers, Ashadi Siregar mengatakan bahwa kebebasan pers dapat dilihat dari dua aras: Pertama, adalah kebebasan warga untuk mendapatkan informasi publik, serta kebebasan serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik. Kedua, kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Dua sisi kebebasan pers itu berbeda letaknya, sebab aras pertama merupakan hak dasar (asasi), dan inilah yang sesungguhnya disebut kebebasan pers.
Kebebas pers ini dituangkan dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang dianggap sangat akomodatif terhadap kemerdekaan pers. Karena esensi dari undang-undang ini seperti diulas sebelumnya, merupakan sebuah bukti sejarah yang monumental dalam menegakan kedaulatan rakyat, keadilan, kebenaran, demokratisasi, dan supremasi hukum.
Namun, belakangan pers kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya.
DAFTAR PUSTAKA

- A. Muis. Komunikasi Islami. 2001. Bandung : Remaja Rosdakarya.
- Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. 2004. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
- Deddy Mulayana. Komunikasi Populer. 2004. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
- -http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 25 November, 2008, 06:15
- Blogroll, Buku Tamu — Budiman S. Hartoyo @ 17:00

Pengaruh Media Massa terhadap Dakwah

Media massa layaknya sebuah pisau, apakah pisau itu akan kita gunakan untuk melukai orang atau untuk memotong buah lalu buahnnya kita makan. Media massa apabila kita gunakansn secara optimal untuk mendukung kebutuhan dakwah Islam, maka manfaat yang dihasilkanya pun akan sangat banyak. Melihat begitu besar dampak media massa terhadap perubahan gaya hidup masyarakat. Sifatnya yang menimbulkan keserempakan, yakni sasaran khalayak yang atau komunikan yang dicapainya relayif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.selain itu, media massa juga bersifat universalitas dan publisitas. Dengan sifatnya yang demikian, pengaruh media massa bukan hanya akan diterima oleh sebagian kalangan masyarak saja, tetapi menjangkau semua kalangan, baik di perkotaan samapai pelosok desa, salah satu contonya adalah televise.
Namun saat ini, media massa belum bahkan tidak termanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan dakwah Islam. Salah satu indikasinya bisa kita lihat dalam sinetron-sinetron nasional atau cerita berita ( newreels) yang banyak ditonton masyarakat, tak ada yang benar-benar mempunyai makna-makan dan nilai-nilai Islam, Cuma sampai pada penyajian symbol-simbol Islamnya saja. Tak ada pula yang yang melancarkan kritik, koreksi atau control kepada pemerintah. Televise pada umumnya mengutamakan siaran resmi atau fungsi ekonomi (siaran niaga). Tak pernah ada sinetron yang mengungkapkan, misalnya, penyiksaan para tahanan yang disangka melakukan kejahatan, karena pasti kena sensor.
Itulah sebabnya, menurut A. muis, salah seorang pengamat media massa,media massa salah satunya Televise cenderung menganut budaya sinkretisme. Yakni mencampuradukan yang hak dengan yang bathil. Misalnya memperbnyak acara-acara pengajian, mimbar agama Islam seperti Hikmah Fajar dan sebagainya. Namun disamping itu memperbanyak pula film-film atau sinetron-sinetron berselera rendah, iklan-iklan yang juga berselera kurang baik, menyesatkan dan mengeksplotasi kemolekan tubuh perempuan dan sebagainya.
Umat Islam diperintahkan untuk melakasnakan ibadah puasa dengan cara yang benar agar bisa menjadi orang yang bertaqwa. Implikasinya banyak manfaat dan maghfirahnya besar jika dilaksanakan secara benar.
Kalau sambil berpuasa, rajin mengaji, shalat tarawih dan sebagainya sambil tetap melakukan maksiat, korupsi, kolusi, dan pelanggaran HAM, penggusuran dan perampasan tanah rakyat secara tak wajar, tentu puasa tak ada maknanya sama sekali. Terjadi lagi sinkretisme atau pencampurabauran antara yang baik dan yang bathil.
Jika itu terjadi, maka semaraknya acara atau siaran dakwah di telavisi,maraknya suasana ramadhan, tak lebih dari sekedar memenuhi norma-norma sosial. Artinya siaran dakwah lebih sebagai tuntutan norma sosial (norma kelompok) yang jika tak diikuti (diramaikan) orang merasa malu, takut ditertawai atau takut dilcehkan bahkan dihujat oleh sebagian kelompok yang lain. Bukan karena takut kepada Allah. Atau hanya memenuhi kebutuhan pasar saja dan televise memanfaatkan moment itu untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan efeknya terhadap masyarakat.
Sebenarnya media massa mempunmyai fungsi yang sangat relevan dalam upaya dakwah Islam, yakni mengendalikan moral masyarakat karena media massa bisa menjangkau jumlah khalayak yang relative tak terbatas dan dengan waktu yang cepat (seperti diutarakan diatas). Akan tetapi media massa juga memerlukan control dalam hal etika menurut pandangan agama. Karena saat ini, mncul semacam interaksi kontroversial yang sukar dielakan antara media massa dan dakwah Islam.
Di satu pihak media massa dalam menyediakan diri sebagai media dakwah tak mungkin melepaskan diri dari tuntutan industrialisasi media massa atau fungsi dagang. Konsekuensinya ialah, apa yang haram bagi komunikasi dakwah belum tentu haram bagi kebutuhan industrialisasi media massa. Dengan demikian perintah agama lewat dakwah Islam belum tentu sepenuhnya bisa terakomodasikan ke dalam pengelolaan media massa yang terikat pada tuntutan industrialisasi. Apakibatnya terjadilah sinkretisme dalam system pemberitaan atau program siaran media televisi ( seperti yang dicontohkan di atas).
Karena itu interaksi antara dakwah Islam dengan media massa sifatnya kompleks. Keterlibatan media massa dalam menyemarakan dakwah Islam tak dapat berlangsung sesuai dengan tuntutan agama karena ada kepentingan lain yang harus dilaksanakan oleh media. Bukan saja tuntutan era industrialisasi, tetapi juga cirri khas yang menjadi dasar eksistensi media itu sendiri, khususnya ciri universalitas, publisitas dan komersialitas.

KENDALA PSIKOLOGI PESAN LINGUISTIK:MISUNDERSTANDING KOMUNIKASI PESAN LINGUISTIK



I.PENDAHULUAN

Komunikasi adalah istilah yang begitu populer dewasa ini. Media massa, buku, kelompok diskusi, pelatihan, lokakarya, seminar dan sebagainya membahas komunikasi. Manusia modern diberondong oleh pesan-pesan komunikasi dari berbagai jurusan, baik secara terang-terangan, ataupun secara halus, baik secara verbal ataupun non-verbal. Dan ketika kita berbicara tentang komunikasi berarti kita pun berbicara tentang bahasa. Sejarah umat manusia di muka bumi ini telah mencatat bahwa tidak ada satu bangsa pun yang tidak mempunyai bahasa. Karena tidak mungkin ada sekelompok manusia dari suatu bangsa tertentu yang tidak memiliki bahasa dalam pergaulan mereka. Hanya dengan bahasalah manusia berkomunikasi dan dan mempertukarkan pikiran, perasaaan, menerima dan memahami perbuatan satu sama lain.

Bahasa merupakan suatu bagian yang sangat esansial dari manusia untuk menyatakan dirinya maupun tentang dunia yang nyata. Adalah keyakinan yang naif kalau kita menyederhanakan fungsi bahasa yang seolah-olah hanya menjadi alat untuk menggambarkan pikiran dan perasaan saja. Yang lebih penting dari bahasa adalah bagaimana memaknakan simbol atau tanda yang telah diorganisasikian dalam sistem kebahasaan.

Pada hakikatnya bahasa berhubungan langsung dengan persepsi manusia dan menggambarkan bagaimana ia menciptakan dunia dan mewarnainya dengan simbol-simbol yang digunakannya. Apa yang diakatakan seseorang, bagaimana cara mengatakan atau mengucapkanya sangat dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam dunia nyata. Dan tidak sedikit kesalahan-kesalan dalam penangkapan makna dalam bahasa yang diucapkan.

II. PEMBAHASAN

  1. Psikologi Pesan

Goerge A. Miller, profesor psikolinguistik dari Rockefeller University mengatakan bahwa, “kini ada seperangkat perilaku yang dapat mengendalikan pikiran dan tindakan orang lain secara perkasa. Teknik pengendalian ini dapat memyebabkan kita melakukan sesautu yang tidak terbayangkan. Kita tidak dapat melakukanya tanpa adanya teknik ini itu. Teknik ini dapat mengubah pendapat dan keyakinan, dapat digunakan untuk menipu, dapat membuat sedih dan genbira, dapat memasukkan gagasan baru ke dalam kepala, dapat memnuat kita mengimgankan sesautu yang tidak kiat meliki. Kita pun dapat menggunakannya untuk mengendalikan diri sendiri. Teknik ini adalah alat luar biasa perkasanya dan dapat digunakan untuk apa saja”.

Teknik ini pengendalian prilaku orang lain ini lazim disebut bahsa. Dengan bahasa, yang merupak kupulan kata-kata, kita dapat mengukur perilaku orang lain. Bahasa pun mempunyai kekuatan, kekuatan kata-kata, the power of words. Mungkin inilah yang membedakan kiota dari binatang. Kitab suci al-Quran menyebutkan penciptaan manusia dengan mengatakan, “Dia mensiptakan manusian mengajarkannya pandai berbicara.” (55 : 2-3)

Manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara-cara tertentu. Setiap cara berkata memberikan maksud tersendiri. Cara-cara ini kita sebut pesan paralinguistik dan dalam praktiknya kita akan menemui kesalahahpemahaman.

  1. Pesan Linguistik

Ada dua cara untuk mendefinisikan bahasa: fungsional dan formal. Derinisi fungsional melihat bahsa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di anatara anggota-angggota kelompok sosial untuk menggunakanya. Kata-kata, seperti yang kita ketahui diberi arti semaunya oleh-oleh kelompok-kelompok sosial.

Sedangkan definisi formal bahasa adalah sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkai supaya memberikan arti.

  1. Beberapa Masalah dalam Komunikasi Pesan Linguistik

Semua komunikasi dapat dilihat dalam proses pertukaran pesan dari pengirim kepada penerima. Yang menetukan adalah bagaimana isi pesan karena yang dipindahkan adalah pesan bukanlah makna.

Ada beberapa masalah dalam komunikasi pesan linguistik atau komunikasi verbal seperti dikatakan Berger dan Bradac (1982) yaitu: (1) polarisasi; (2) orientasi; (3) intensional; (4) prinsip kesemuan; (5) evaluasi yang statis (6) indiskriminasi.

  1. Polarisasi

Polarisasi adalah kecenderungan melihat suatu dunia dan menggambarkanya dalam suatu batasan yang ekstrim misalnya baik dan buruk, posituf dan negatif, kaya dan miskin. Dalam polarisasi berlaku penilaian dikotomi dimana arti satu kata dengan yang laninya berlainnya. Di antara kedua hal yang ekstrim itu ada satu titik yang berada diantaranya yang kadang-kadang dianggap netral, misalnya tidak kaya tidak juga miskin atau cukup kaya. Dalam kenyataannya orang disodorkan untuk memilih suatu obyek, manusia, peristiwa secara bipolar.

Kata dalam pesan komunikasi verbal sering mempengaruhi pilihan orang bipolar yang membuat orang ragu-ragu menempatkan diri sehingga memilih di antaranya saja. Hal ini sebenarnya dikaitkan dengan penentuan sikap pilihan kata antara ekstrim itu.

  1. Orientasi Intensional

Ada suatu kecenderungan untuk memandang objek, orang, atau peristiwa pada namanya bukan pada aktualitas kehadiran atau pada isinya. Orientasi intensionla terjadi manakala kita sering bertindak atau bersaki kalau suatu ’kata’ atau label, istilah yang ditampilkan oleh objek, orang, peristiwa. Kita kembali pada contoh melihat suatu peta mungkin lebih penting dari pada wilayahnya. Kita lebih percaya pada siapa yang mengtakan daripada apa yang dikatakannya. Kita mungkin menjadi takut pada kata ‘anjing’ dari pada anjingnya sendiri. Jadi yang kita lihat adalah daya tarik luar seseorang, objek, atau peristiwa bukan pada hal-hal yang lebih mendasar di balik orang, objek, ataupun peristiwa itu.

Setiap hari kita sering menghadapi masalah komunikasi seperti ini. Kita melupakan apa yang diucapkan seorang karenma lebih suka bertanya siapa yang menyatakanya. Hal demikian sangat mempengaruhi prasangka sosial terhadap orang sebelum berkomunikasi.

Dalam konteks dakwah, hal ini sering terjadi, misalnya mad’u atau komunikan akan lebih memilih mendengarkan ceramah dari seorang da’i atau komunikator kondang daripada da’i yang namanya belum terkenal atau belum pernah muncul di media khususnya televisi.

  1. Bingung dalam Menyimpulkan Suatu Fakta

Menurut Hewit (1976) dalam komunikasi verbal atau pesan linguistik kita dapat menyatakan sesautu yang tidak dapat diamati.

Perhatiakn contoh kalimat di bawah ini: (a) ia mengenakan baju betwarna hitam; (b) ia kelihatanya teguh pendirian.

Sepintas lalu stuktur kalimatnya sama, namun ada bagian yang janggal, baju hitam bisa langsung mengacu pada objek yang dapat diamati; sedangkan teguh pendirian nerupakan sesuatu yang bukan benda tetapi hanya bisa diamati dari perilaku verbal. Yang satu verbal teramati yang lainnya verbal tidak teramati. Kadang-kadang pertanyaan seperti ini mengundang kesulitan dimana kita bingung menarik suatu kesimpulan atas suatu fakta.

Dapat disimpulkan, pernyataan faktual bersifat tetap, tidak bisa berubah, polanya berdasarkan fakta yang tidak bisa dirombak lagi. Sedangkan pernyataan inferensial dalam ungkapan yang verbal lisan maupun tulisan merupakan sesautu pernyataan yang bersifat sementara.

  1. Kesemuan

Ada satu masalah dalam komunikasi verbal adalah masalah allness atau kesemuan. Manusia menghadapi perbagai masalah di atas dunia, kompleksitas masalahnya tinggi sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang tahu semua. Kita hanya akaan berpikiur serius kalau hal yang dipikirkan itu benar-benar diketahui. Kita bisa mengetahui, mengenal seseorang tetapi tidak semua hal mengenai orang itu. Meskipun demikian kita seringkali menarik kesimpulan terhadap suatu masalah hanya setelah kita membaca, mendengar ucapan satu kata dari seseorang, atau tenyang suatu objek maupun peristiwa, termasuk generalisasi atas sesautu yang hanya berdasarkan penglihatn sepintas saja.

  1. Evaluasi yang Statis

Contoh evaluasi yang bersifat statis dapat dilihat dalam komunikasi verbal bahasa Inggris. Untuk mengevaluasi suatu konsep yang berkaitan dengan objek maka dalam bahasa Inggris sifat statis langsung terlihat dalam perubahan waktu. Hal ini tidak terlihat dalam bahasa Indonesia. Mengapa waktu dalam bahasa iggris menentukan pengelompokan suatu makna kalimat yang ada hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Karena sistem kata kerja dalam bahasa Inggris harus dibentuk dengan cara yang sama sekali tidak boleh tidak memperhatikan waktu (yang dalam komunikasi disebut konteks).

TS Eliot dalam bukunya The Cooktail Party, berkata bahwa “apa yang kita ketahui tentang orang lain hanya sekedar merupakan ingatan kita yang terkurung oleh dimensi ruang dan waktu ke waktu. Setiap pertemuan dengan orang lain sebenarnya merupakan pertemuan dengan orang baru yang menurut perubahan disposisi kita”.

  1. Sikap Indiskriminasi

De Vito (1978) mengemukakan secara alamiyah kita melihat banyak hal di atas muka bumi ini sama saja. Pedahal segala sesautu mempunyai keunikan yang belum tentu disukai setiap orang. Bagaimanapun juga bahasa kita membuktikan bahwa dengan pelbagai kata benda sama, misalnya guru, mahasiswa, kawan, musuh, perang, politikus, mengandunmg arti yang berbeda. Beberapa kata benda begitu diubah bentuknya mengandung arti yang lain.

Kesalahpahaman dalam konunikasi verbal semakin diperuncing dengan adanya perbedaan makna pada setiap kata. Konsep makna telah menarik perhatian komunikasi, psikologi, sosiologi, anthropologi, dan linguistik. Selama lebih dari 2000 tahun, kata Fisher (1978: 250), konsep makna telah memukau para filsuf dan sarjana-sarjana sosial. Begitu banyak orang mengulas makna sehingga makna kehilangan maknanya.

Brodbeck, seorang filisuf, membagi makna dalam tiga macam, yaitu, pertama adalah makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujukan oleh kata tersebut. Dalam uraian Odgen dan Ricard, peoses pemberian makan terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukan lambang (disebut rujukan atau referent). Satu lambang dapat menunjukan banyak rujukan. “Jari-jari” dapat menunjukan setengah diameter, bagian dari roda sepeda atau bagian tangan.

Makna yang kedua menunjukan arti (significance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain. Fisher memberi contoh dengan kata phlogiston. Kata ini dahulu dipakai untuk menjelaskan proses pembakaran. Benda bernyala karena ada phlogiston. Kini, setelah ditenukan oksigen, phlogiston tidak berarti lagi.

Makna yang ketiga adalah makan intensional, yakni makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang. Makna ini dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukan. Makna ini terdapat pada pikiran orang, hanya dimiliki dirinya saja.

DAFTAR PUSTAKA

· Tubbs, Stewart L. Moss, Sylvia. Human Communication, Konteks-Konteks Komunikasi. 1996. Bandung: Rosdakarya.

· Jalaluddin, Rakhmat. Psikologi Komunikasi. 2005. Bandung: Rosdakarya.

· Alo, Liliweri. Komunikasi Verbal dan Non Verbal. 1994. Bandung: Citra Aditya

· Deddy, Mulyana. Komunikasi Populer. 2004. Bandung: Bani Quraisy.